Sulit juga mengelompokkan tulisan ini secara pasti, apakah termasuk rubrik Politik (Hukum) atau Hiburan (Film). Memilih kedalam dua rubrik tersebut sekaligus malah terkesan egois selain juga tidak mungkin secara sistem. Mudah-mudahan relevan bila rubrik Hiburan menjadi pilihan tulisan ini.
Tanggal 8 Pebruari 2011 lalu Warta Kota memuat berita tentang kasus Nazril Irham alias Ariel pasca putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung tanggal 31 Januari 2011. Vokalis Peterpan yang dinyatakan terbukti bersalah ikut menyebarluaskan pornografi dan divonis pidana penjara 3 tahun 6 bulan berikut denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan itu dikabarkan mengajukan memori banding tanpa bantuan penasihat hukum. Sekilas mengulas, persidangan perkara register nomer 1401/PN-Bdg/2010 itu dapat dibaca disini atau disini. Membaca kutipan pertimbangan hukum dari berita tersebut, nampaknya kualifikasi perbuatan Ariel juga memenuhi konstruksi turut serta (Pasal 56 KUHP) dan kelalaian didalam Pasal 4 jo 29 Undang-Undang Pornografi, sebagaimana antara lain dakwaan Penuntut Umum (disini). Ulasan sedikit lebih teknis, Kompasianer dapat membacanya disini.
Namun tulisan ini tidak akan mengulas materi pertimbangan hukum majelis hakim dan amar putusan dimaksud. Pun menyatakan setuju-tidaknya logika hukum didalamnya. Ada fenomena menarik yang menjadi perhatian penulis dalam persidangan perkara tersebut yang kemudian mengingatkan pada 2 film serial televisi yaitu X-File dan Crime Scene Investigation (CSI). Fenomena pertama adalah ketika sang terdakwa menyangkal perannya sebagai "peraga". Tidak tanggung-tanggung, "komitmen" penyangkalan itu dilakukan sejak awal penyidikan hingga saat ini. Fenomena kedua adalah ketika keterangan (para) ahli menyatakan sebaliknya dimana substansi alat bukti ini mengandung bobot keilmiahan yang eksak.
X-File
Bila Kompasianer adalah penikmat film serial 2 detektif FBI, Fox Mulder dan Dana Scully, yang bertugas menyelidiki kasus-kasus "unik" dan irasional alias spooky ini, pastinya ingat slogan yang menjadi "brand" nya, yaitu "the truth is out there". Disamping slogan tersebut ada 2 slogan lain yang tidak kalah menyeramkan meski tampil lebih jarang, yaitu "trust no one" dan "deny everthing". Dari kedua slogan terakhir itu kita dapat menduga bahwa materi ceritanya bersinggungan dengan strategi (baca : selubung) politik, spionase, intelijen yang sarat intrik, konspirasi, cover-up bahkan bercampur pembunuhan (extermination).
Menggunakan 1 dari ketiga slogan tersebut sebagai "pisau analisis", mudah ditebak kalau slogan "deny everthing" relevan dengan fenomena pertama tadi. Ariel berhasil melakukannya secara konsisten. Dengan menyangkal dirinya adalah "peraga" dalam video tersebut, maka seluruh materi muatan yang dituduh sejak dimulainya penyidikan polisi hingga persidangan majelis hakim praktis ikut dibantah, terkecuali koneksitas dirinya dengan kekasih dan teman-temannya secara sosial. Tegasnya, seluruh hal yang berkaitan dengan tuduhan tindak pidananya otomotis dibantah.
Lalu, apakah kiat Ariel tersebut dibenarkan? Tergantung dari sudut pandang apa kita mengulasnya. Apabila kita meninjaunya dari asas yang berlaku dalam hukum pidana universal termasuk juga KUHAP, kiat atau sikap tersebut sah saja. Tidak ada sesuatu yang luar biasa atau khusus karena perlindungan terhadap tersangka/terdakwa adalah juga merupakan hak asasi manusia. Perlindungan tersebut termasuk hak menyangkal bagi tersangka/terdakwa atas apa yang dituduhkan, dikenal dengan rights of non-self incrimination, yaitu hak untuk tidak mengungkap sesuatu yang menyudutkan dirinya sendiri. Asas ini bersanding sejajar dengan asas lain yang diakomodir hukum pidana, seperti due process of law, speedy trial, presumption of innocent, equality before the law dan lainnya.
Oleh karena itu, seyogyianya masyarakat luas atau pihak luar (layman) tidak perlu lah geram dengan ucapan dan pernyataan tersangka/terdakwa karena sandaran utama adalah apa yang disampaikan dan diputus majelis hakim. Tentunya terbuka kekeliruan majelis hakim, dan oleh karena itu dibuka juga peluang bagi terpidana untuk melakukan banding dan kasasi (appeal). Dengan konsepsi diatas, maka sangat lucu mendengar seorang tersangka yang mengaku dirinya dilanggar hak asasinya karena pengadilan akan menyidangkan dirinya.
Pada sisi lain, dapat saja dikatakan bahwa penyangkalan tersebut bertentangan apabila kita meninjau dari etika profesi penasihat hukum. Mengapa demikian, karena penyangkalan total si terdakwa justru dapat membahayakan dirinya, bila sederet bukti yang diungkap penuntut umum di persidangan telah terangkai dalam jalinan cerita dan diyakini majelis hakim. Dalam situasi seperti ini, diperlukan lebih dari sekedar nasihat dan petunjuk penasihat hukum kepada terdakwa/klien agar bisa mengakui kesalahannya. Tentunya dengan segenap alasan pembenar maupun pemaaf.
CSI
Film serial ini dapat disaksikan lewat siaran tivi berlangganan, tepatnya ditayangkan oleh Fox Crime. Ada 3 jenis film yang digarap Jerry Bruckheimer sebagai Executive Producer ini, yaitu CSI Las Vegas, CSI New York dan CSI Miami. Produser ini juga berjaya dengan karya film-film layar lebarnya seperti Pirates of The Carribean, Bad Boys II, Armaggedon, dan lainnya (lihat disini). Akan halnya 3 film serial CSI tadi juga berhasil mendongkrak kembali popularitas grup musik The Who, yang pernah berkiprah semasa The Doors, Led Zepplin, Uriah Heep, Deep Purple, Nazareth, dan lain-lain, masing-masing dengan "Who Are You" sebagai soundtrack CSI Las Vegas, "Baba O'Riley" sebagai soundtrack CSI New York, dan "Won't Get Fooled Again" sebagai soundtrak CSI Miami.