Satu acara televisi bertitel "Investigasi" ditayangkan hari Jumat jelang sore sekitar 2 minggu lalu, 13 Agustus 2010. Isinya sangat ironis : beberapa koleksi satwa ditemukan mati di Kebun Binatang Surabaya (KBS). Lalu harian Kompas, 19 Agustus 2010, melengkapi berita mengenaskan tersebut dengan mengungkapkan bahwa dalam sepekan ada 7 satwa mati. Diantara satwa itu bahkan termasuk langka yang terancam punah (endangered species), yaitu babi rusa (babyrousea babyrussa), rusa bawean (axis kuhlii), dan harimau sumatera (panthera tigris sumatrae), sedangkan masih ada 10 satwa yang ditemukan sengsara. Belum cukup, harian nasional berbahasa Inggris ikut mempublikasikan tragedi konservasi spesies tahun 2010 tersebut (disini). Sedangkan Metro TV hari Sabtu malam, 21 Agustus 2010, mengungkap bahwa sejak tahun 2009 hingga sekarang ada sekitar 300-an koleksi satwa KBS yang mati.
Kematian masal itu mestinya sangat mencengangkan (baca : menjijikan) para pemerhati konservasi (conservationist). Apalagi terjadi di kawasan yang seharusnya menjadi tempat merawat dan mengembangbiakkan (breeding) satwa. Kurang anggaran..? Lha wong kabarnya sudah ada penggantian manajemen, masa iya masih tidak becus..? Donasi dan sponsor toh bisa diberdayakan. Kurang keterampilan/keahlian..? Ya segera atasi dengan mempekerjakan mereka yang terampil/ahli. Atau jangan-jangan mereka sudah kehilangan rasa perikemanusiaan sehingga melakukan pembiaran alias sikap abai..?
Saya meyakini mereka ingat dengan slogan AMONG SATWA MRIH LESTARI. Saya tidak percaya mereka terjangkit penyakit lupa dengan Falsafah Kebun Binatang, yang dalam angka (5) Perhimpunan Kebun Binatang SeIndonesia (PKBSI) tanggal 18 September 1984 menyatakan : "Kebun Binatang diselenggarakan dan dikembangkan sebagai upaya manusia Pancasila yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk mewujudkan rasa tanggung jawab yang besar terhadap amanat Tuhan tersebut diatas, ialah selalu memanfaatkan dan menjaga kelestarian kehadiran aneka ragam binatang di bumi." .
Atau fungsinya pada angka (6) huruf (d) Falsafah tersebut yang menegaskan : "Sebagai kubu terakhir upaya manusia untuk melindungi dan membiakkan satwa langka yang telah terancam akan kepunahan, yang akhirnya akan dilepaskan kembali di habitat asalnya untuk mendapat kesempatan berkembangbiak kembali secara alami."
Secara kelembagaan, sejatinya mereka juga faham dan mampu menerapkan manajemen profesional kebun binatang sesuai ketentuan yang telah ada sejak Keputusan Dirjen Kehutanan No. 20/KPTS/DJ/I/78 tentang Pedoman Umum Kebun Binatang. Atau dengan regulasi terkini dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi, yang mengkualifikasikan Kebun Binatang sebagai kawasan konservasi in-situ, yang fungsi utamanya sebagai lembaga yang melakukan perawatan dan pengembangbiakan berbagai jenis satwa berdasarkan etika dan kesejahteraan satwa.
Sekilas membandingkan dengan Kebun Binatang Ragunan-Jakarta, secara kelembagaan merupakan bagian dari organisasi Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, sesuai Keputusan Mendagri No. 74 Tahun 1998, Unit Pelaksana Daerah namanya. Tercatat pada tahun anggaran 1999/2000, total subsidi yang digelontorkan kepada Kebun Binatang-Ragunan sebesar Rp 18 milyar lebih, sedangkan untuk rancangan anggaran 2000/2001 pengelola mengajukan Rp 34 milyar lebih. Ini berdasarkan data ketika saya melakukan riset dalam menyelesaikan program magister untuk materi alm. Prof. Koesnadi Hardjasoemantri.
Lantas kita kemudian mendengar kalau pak Menteri Kehutanan mencabut ijin pengelolaan KBS sebagai "sanksi". Pada satu sisi tentunya kita perlu mengapresiasi langkah tegas tersebut. Namun toh tetap menyisakan setidaknya 3 pertanyaan:
1. mengapa baru dibuat setelah ratusan satwa mati mengenaskan?
2. apakah pejabat setempat memiliki kompetensi dalam pengelolaan kebun binatang dengan adanya kesediaan Pemerintah Daerah untuk mengambil-alih kebun binatang Surabaya? Terbayang kondisi Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) yang memprihatinkan setelah Gibbons Foundation hengkang sebagai donatur;
3. siapa sih yang harus bertanggujawab, apakah lalai ataupun sengaja, dengan kematian masal satwa-satwa tersebut khususnya yang berstatus dilindungi (endangered species) ? Ini penting dalam rangka konsistensi dan komitmen terhadap amanah Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 yang memberikan perlindungan terhadapnya, dan mengkualifikasikan sebagai kejahatan.
Sebagai pemerhati konservasi, tuntutan kita adalah penegakan hukum lingkungan khususnya konservasi satwa yang dilindungi oleh pemerintah terhadap tragedi tersebut.