Mari sejenak menyimak suasana bisnis keuangan di pasar modal Indonesia, khususnya instrumen surat utang. Ada sedikit kekhawatiran dalam diri saya akan munculnya sentimen negatif terhadap pasar utang (debt market/fixed income market) akibat ambruknya kinerja keuangan perusahaan-perusahaan yang melakukan emisi obligasi (bond/obligatie). Pengaruhnya apalagi kalau bukan kegagalan penerbit obligasi (bond issueer) membayar kewajiban kupon bunga pada waktunya (default) kepada pemegangnya (bond holder) yang notabene investor/kreditur, dan berujung pada distrust atau setidaknya skeptis. Memang sih, masih banyak emiten obligasi yang berkinerja bagus dan bahkan mendapat kenaikan rating, atau calon-calon emiten lain yang tengah memproses emisi obligasinya. Namun yang namanya senitmen negatif, ya saja tetap berpengaruh buruk, dalam pandangan saya yang bukan praktisi/pakar keuangan dan pasar modal, dan hanya mencoba peruntungan mendapatkan imbal hasil obligasi dari reksadana (mutual fund/bellegings maatschappij).
Dalam pengamatan saya, emiten-emiten obligasi yang gagal bayar itu adalah perusahaan yang cukup populer bahkan bagi masyarakat pada umumnya. Yang paling menyolok adalah PT. Mobile-8 Telecom Tbk., perusahaan telekomunikasi pencipta FREN. Obligasi Rupiahnya senilai Rp 675 milyar yang jatuh tempo Maret 2012, telah 2 kali gagal membayar kupon periode 15 Maret 2009 dan 15 Juni 2009. Selain Rupiah, anak usaha emiten ini, Mobile-8 Telecom Finance Company BV, juga dinyatakan gagal bayar oleh wali amanat obligasi Dollar-nya yang diterbitkan Agustus 2007 dan jatuh tempo Maret 2013 senilai US$ 100 juta, DB Trustees, tanggal 16 Desember 2008 akibat pelanggaran klausul obligasi mengenai pengalihan saham PT. Global Mediacom Tbk. kepada Jerash Investment September 2008 dari 59% menjadi 19%.
Selanjutnya ada Davomas International Finance Company Pte. Ltd., anak usaha PT. Davomas Abadi Tbk. produsen kakao dan bubuk coklat terbesar di Indonesia, gagal membayar kupon obligasi bernama Guaranteed Senior Secured Notes periode 8 Mei 2009 sebesar 13,09 juta dolar yang jatuh tempo 2011 sebear 238 juta dolar. Ada lagi obligasi Blue Ocean Resources Pte. Ltd., anak usaha PT. Central Proteinprima Tbk.-produsen dan pengolah udang terbesar di Indonesia, gagal membayar kupon bunga periode 28 Desember 2009 sebesar 17,9 juta dolar yang jatuh tempo tanggal 28 Juni 2012 senilai 325 juta dolar. Pemeringkat Fitch Rating menurunkan obligasinya dari CC menjadi C, akibat anjloknya keuangan tahun 2009. Alasannya ditengarai karena serangan virus, krisis finansial global, tuduhan transhipmen, dan alasan lain. Kisruh di PT. Central Proteinprima Tbk. juga menyangkut gagal bayar obligasi tukar berjaminan (secure convertible) Red Dragon, salah satu pemegang saham PT. Central Proteinprima Tbk., senilai 200 juta dolar yang terbit pada Juni 2007 dengan wali amanat The Bank of New York Mellon. Beberapa emiten obligasi gagal bayar diatas dikabarkan telah mendapat persetujuan restrukturisasi dari para pemegangnya. Sejenak menengok kebelakang, dalam catatan saya dari data PT. Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) obligasi gagal bayar tahun 1999 dialami oleh setidaknya 7 emiten, yaitu PT. Bakrie Finance Corporation Tbk., PT. Barito Pacific Timber Tbk., PT. BBL Danatama Finance, PT. Lontar Papyrus Pulp & Paper Mills, PT. Pindo Deli Pulp & Paper Mills dan PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk. Sedangkan beberapa obligasi perusahaan swasta yang memperoleh peringkat gagal bayar per April 2003 yaitu Obligasi Bakrie Finance I Tahun 1997, Obligasi Barito Pacific Timber Tahun 2002, Obligasi BBL Dharmala Finance III Tahun 1996, Obligasi Indah Kiat I Tahun 1999 Seri A1, Obligasi Lontar Papyrus I Tahun 2000 Seri A, Obligasi Pindo Deli I Tahun 1997, dan Obligasi Tjiwi Kimia I Tahun 1996. Walau urusan gagal bayar kupon bunga dan hutang pokok berhasil disepakati dan diselesaikan emiten dan para pemegang obligasi melalui peran wali amanat (trustee) dengan pola restrukturisasi seperti perpanjangan periode jatuh tempo, penurunan bunga dan opsi lain, toh para pemegang obligasi cukup merugi karena terpaksa harus menunda, menurunkan atau merubah bentuk dan nilai keuntungan yang seharusnya dijanjikan emiten. Menghadapi hal ini seringkali pelaku pasar mencari alasan pembenar munculnya kerugian dalam berinvestasi dengan adagium "high risk, high return", "no pain no gain" dan beragam disclaimer lain. Ada lagi yang memandang faktor eksternal yang mengganggu atau menurunkan likuiditas atau cash flow keuangan emiten sehingga obligasinya gagal bayar seperti fakta yang disebutkan diatas. Sejatinya emiten yang melakukan emisi obligasi telah mendapat ijin dan persetujuan dari otoritas pasar modal sehingga merupakan obligasi yang sehat dan layak sesuai syarat dan ketentuan emisi khususnya dalam Peraturan IX.A.1 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran dan Peraturan IX.A.2 tentang Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum, serta Peraturan IX.A.11 tentang Penawaran Umum Bersifat Utang Dalam Denominasi Mata Uang Selain Mata Uang Rupiah. Kiranya kita perlu kritis menganalisis apakah gagal bayarnya itu akibat ability ataukah willingness emiten. Dalam hal yang pertama, seyongyianya pemodal seperti saya yang pas-pasan dan tidak piawai ini bisa mahfum dan bersabar menunggu rapport emiten kembali hijau. Sedangkan untuk keadaan yang kedua, lebih baiknya kita perlu vokal bersuara, seperti halnya ketika salah satu grup usaha diketahui menyumbang dana untuk kegiatan kampanye pilpres awal tahun 2000 padahal yang bersangkutan terbelit hutang obligasi terhadap para pemodalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H