Lihat ke Halaman Asli

Wyndra

Laki-laki

Hari Konservasi Alam Nasional : Pelepasan Harimau Vs Ancaman Pembantaian + Konversi Lahan

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_60360" align="alignleft" width="300" caption="Harimau Suamtera/admin (Serambi Indonesia)"][/caption]

Hari-hari bertema lingkungan seperti Hari Bumi tanggal 22 April atau Hari Lingkungan Hidup tanggal 5 Juni selalu diperingati massal dan gegap gempita dengan dukungan segenap stakeholders mulai dari pemerintah, pelaku usaha, LSM, pers, dan berbagai lapisan masyarakat. Tidak demikian dengan Hari Konservasi Alam Nasional yang diperingati Jumat kemarin, tanggal 22 Januari. Publikasi dan dukungan oleh stakeholders dirasa sangat terbatas. Entah mengapa bisa demikian. Saya berpikir positif, itu karena hari baru kali pertama dicanangkan dan berharap tahun-tahun mendatang mendapatkan lebih banyak dukungan, sehingga menyadarkan lebih banyak masyarakat terhadap upaya konservasi satwa  yang hampir punah (extinction).

Hari Jumat itu peringatan Hari Konservasi Alam Nasional dilakukan oleh Wapres Boediono, Menko Polhukam Marsekal Purn. Djoko Suyanto dan Menteri Kehutanan Zulkiflie Hasan, di Istana Wapres, dengan memberi nama 3 harimau (panthera tigris sumatrae) yaitu Wira, Buyung dan Bella. Sorenya saya sempat menonton siaran live Metro TV pelepas-liaran harimau di Taman Safari Tamling, Lampung. Seremoni lepas-liar harimau tahun lalu juga pernah dilakukan dengan dukungan grup Artha Graha.

Sebagian besar kita menyadari bahwa upaya-upaya konservasi satwa seperti itu perlu diapresiasi dan terus didukung karena selain merupakan mata rantai makanan dan siklus kehidupan, juga merupakan satwa endemik di bumi ibu pertiwi. Disamping itu, toh secara legalitas telah diatur sejak lama. Harimau Sumatera misalnya, diatur sejak Keputusan Menteri Pertanian No. 372/Kpts/Um/7/1972. Kemudian melalui Keppres No. 43 Tahun 1978 diratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), selanjutnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Sayangnya ketika satwa dikembalikan ke habitatnya, saat itulah timbul kekhawatiran besar terhadapnya. Fakta-fakta pembantaian/perburuan oleh berbagai kelompok manusia, baik kaki tangan sindikat perdagangan organ maupun penduduk yang bermukim atau dimukimkan pada jalur atau areal jelajah satwa liar bukanlah hal yang baru. Satu buletin TRAFFIC, ditulis Susan A. Mainka, tahun 1997, melaporkan bahwa organ-organ harimau sumatera diperdagangkan di Cina sebagai obat reumatism, leprosy, arthritis, dan anti-inflammatory (disini). Ini dikuatkan kembali berdasarkan liputan majalah TIME, tanggal 13 April 2009, berjudul "Vanishing Act" pada halaman utama. Yang menyedihkan, para pelaku perdagangan organ harimau ini hanya divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tembilahan, padahal aksi mereka mulai proses hingga perdagangan terbukti jelas (Media Indonesia, 9 Oktober 2009). Masih banyak lagi perdagangan ilegal lain seperti trenggiling (manis javanica).

Ancaman konservasi spesies tidak berhenti pada perilaku buas para kaki-tangan sindikat. Kiranya masih segar dalam ingatan kita ketika bulan Januari-Pebruari tahun lalu khususnya di Kabupaten Indragiri, Propinsi Riau, beberapa warga masyarakat membantai (poaching) harimau setelah berhasil menjerat. Bukan saja harimau sumatera yang menjadi incaran. Sekitar Juni-Juli 2008, gajah dibunuh warga di Kecamatan Mandau, Bengkalis.

Kebijakan konservasi satwa semakin diragukan saat melihat benturan antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan pelestarian lingkungan. Aparatur lokal bersama perusahan pengembang memperluas wilayah permukiman penduduk, padahal  wilayah tersebut merupakan jalur atau jelajahan satwa. Atau komersialisasi/konversi lahan/hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Belum lagi  cerita tentang pinjam-pakai hutan lindung oleh perusahaan pertambangan/migas dengan dukungan legalitas Perppu 1 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Yang terbaru, dalam diskusi di MetroTV Kamis atau Jumat malam lalu, Pemerintah dikabarkan telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah yang isinya mengutamakan kepentingan pertambangan/migas bila berada dikawasan hutan.

Akankah kebijakan konservasi lingkungan, khususnya satwa, menjadi pelengkap atau subordinasi kepentingan pembangunan, itulah pertanyaan yang tetap menggelayut. Bukan sesuatu diharapkan khususnya bagi kita yang lebih mementingkan bumi yang lestari.

Menyadur, mengutip, menyalin, termasuk copy-paste, materi dan/atau kalimat dalam tulisan ini tanpa menyebut/merujuk sumber/pemiliknya adalah pelanggaran etika, dan pidana hak cipta (copy rights)”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline