Lihat ke Halaman Asli

Apa yang Salah?

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13809255051454297776

Gara-gara membaca postingan status teman di facebook, saya jadi teringat untuk mengulas pengalaman anak-anak saya saat bersekolah di Amerika. Bukan untuk membanding-bandingkan sistim pendidikan di sana dengan di tanah air, sebab di Indonesia pun sudah ada beberapa sekolah yang menerapkan pola serupa. Saya hanya sekadar membuka kenangan manis yang sempat dirasakan Mira dan Khalid (kedua anak saya) selama bersekolah di sana.

Kami tidak terlalu lama bermukim di kota kecil bernama Urbana Champaign, Illinois, namun pengalaman yang kami dapat begitu berkesan sehingga sulit untuk dilupakan walaupun sudah bertahun-tahun berlalu. Di bagian ini, saya ingin berbagi cerita tentang kenyamanan bersekolah bagi anak-anak saya selama di sana. Meskipun di awal-awal anak-anak saya tidak langsung enjoy, terutama Mira, anak sulung saya, karena kesulitan bahasa dia sempat mogok belajar dan tidak mau duduk di kelasnya. Namun, proses adaptasi tak memakan waktu lama. Hanya sekitar dua minggu, semuanya bisa berjalan normal dan justru menyenangkan bagi mereka.

Ada beberapa cerita menarik tentang sekolah yang kerapkali mereka bawa pulang ke apartemen kami kala itu. Antara lain tentang sistim pembelajaran yang menurut mereka sangat menyenangkan. Meskipun disampaikan dalam Bahasa Inggris yang belum sepenuhnya mereka kuasai, tapi mereka tak merasa tertekan untuk mengikutinya. Guru di sana selalu membimbing mereka bukan hanya dengan kesabaran, tetapi juga dengan pendekatan yang membuat mereka nyaman. Tak pernah terucap kata “Itu salah, harusnya begini” atau “Enggak boleh nulis seperti itu, nanti nilai kamu rendah”, dan sebagainya yang bersifat penekanan.

Pekerjaan rumah (PR) juga selalu mereka dapat dari guru-gurunya. Namun, itu tidak dirasakan sebagai penekanan. Kesulitan yang mereka hadapi hanya karena faktor bahasa saja. Bukan ketakutan akan benar atau salah dalam menyelesaikan soal-soal tersebut sehingga akan memperoleh nilai rendah.

[caption id="attachment_283196" align="aligncenter" width="448" caption="Mengerjakan PR tanpa terbebani."]

13809265731174752843

[/caption]

Apa yang menyebabkan mereka nyaman? Menurut Mira (waktu itu sempat duduk di kelas fourth dan fifth grade), mereka tidak pernah tertekan karena melihat nilai teman yang tinggi dalam bentuk angka 10, 9, atau 8. Bentuk penilaian selalu akan diapresiasi dalam kata-kata seperti, excellent, good job, well done, great job, dan kata-kata lain yang sifatnya membangun serta menyemangati. Dengan kondisi seperti itu, mereka tidak merasa dipacu oleh tekanan untuk bersaing satu sama lain secara tidak sehat. Justru unsur kebersamaanlah yang kerapkali muncul, agar semua anak di dalam kelas bisa mencapai standar yang sama tanpa harus terbebani dan tertinggal dari teman lainnya.

Untuk pelajaran ilmu alam misalnya, anak-anak tidak melulu dijejali dengan teori-teori. Mereka sesekali dibawa berwisata (field trip) untuk berlatih dekat dengan alam serta makhluk hidup lainnya. Dengan cara demikian, maka logika dan kepekaan mereka perlahan diasah dengan cara yang menyenangkan. Di acara itulah, guru-guru mereka mengantarkan dengan cara praktik langsung secara bertahap tentang teori-teori yang berkaitan dengan ilmu bersangkutan. Dan, ini tentu saja lebih efektif terekam oleh daya ingat murid-muridnya.

[caption id="attachment_283191" align="aligncenter" width="448" caption="Belajar di lokasi field trip."]

13809259681688486973

[/caption]

Begitu juga di pelajaran seni. Baik itu seni rupa, tari, musik, dan suara, semua diajarkan dengan pendekatan yang benar-benar menyentuh. Bahkan ada anak yang tadinya tidak peduli dengan pelajaran seni ini, akhirnya sangat menyenangi dan merasa selalu senang mengikuti kelasnya. Karena apa? Setiap anak (baik yang peduli maupun tidak) semua dianggap sama dan diajak dengan cara menyentuh perhatian mereka secara perlahan-lahan sehingga mereka tak merasa berbeda dari yang lainnya. Keseragaman ini membuat anak nyaman untuk mulai mencintai apa yang tadinya mereke benci.

[caption id="attachment_283193" align="aligncenter" width="448" caption="Belajar seni suara dengan gembira."]

1380926104328101343

[/caption]

Setiap tiga bulan sekali, pihak sekolah akan memberikan apresiasi kepada murid-muridnya. Reward berbentuk award berupa piagam menjadi barang lazim di sana. Anak-anak yang tak menguasai pelajaran matematika, tak pernah merasa minder karena dia akan diberikan award atau penghargaan di bidang mana yang dia kuasai.

[caption id="attachment_283195" align="aligncenter" width="466" caption="Sertifikat ini tak mampu "]

13809263461352012412

[/caption]

Mengingat ini, saya jadi teringat ketika pertama kali ikut seleksi pendaftaran Mira ke SMA-nya. Isu yang saya dengar bahwa pihak sekolah akan memberi peluang diterima kepada anak-anak yang berprestasi. Fine... saya senang mendengarnya. Tapi, ketika batasan terhadap penghargaan itu muncul, saya kembali teringat dengan sistim pendidikan di sana. Di SMA Mira kemarin membatasi dengan menerima prestasi atau sertifikat hanya di bidang akademis dan itu pun khusus untuk pelajaran Matematika dan IPA. Saya hanya bisa tersenyum miris ketika beberapa penghargaan/sertifikat di luar pelajaran itu (seni dan bahasa) ditolak mentah-mentah di meja seleksi pendaftaran.

Dengan kondisi di atas, tentulah anak-anak merasa kecewa karena kebisaannya di bidang lain yang dengan susah payah diraihnya, tidak dianggap sama sekali. Kasarnya, semua modal untuk masuk ke sekolah bagus itu adalah nilai berbentuk angka-angka. Memang, standar nilai itu perlu diukur dengan angka, tapi tidak untuk segala bidang. Pencapaian terbaik yang sudah dilakukan siswa di bidang non akademis ada baiknya juga mendapat perhatian, karena tidak semua anak menguasai MIPA.

Kondisi inilah yang sesekali menjadi kenangan dan kami jadikan sebagai bahan diskusi di rumah. Anak-anak saya sampai saat ini masih suka mengingat-ingat hal-hal positif yang membuat mereka nyaman ketika bersekolah di Marthin Luther King Elementary School. Hal itu muncul di saat mereka mulai panik dengan tekanan tugas dan PR dari sekolahnya. Apalagi ketika target nilai yang harus mereka kejar agar tetap bisa menduduki peringkat atas di kelasnya, sehingga kelak guru tidak mengabaikan mereka dan memperhitungkan keberadaannya di kelas. Ini sangat melelahkan (menurut saya).

“Kapan ya, sistim pendidikan kita akan diseragamkan dengan sekolah-sekolah yang mungkin sudah mengarah pada pola pengajaran di luar negeri itu?” atau “Apa sih sebenarnya yang salah pada sistim pendidikan dasar di negeri ini?” Pertanyaan ini yang sering saya dengar dari mereka yang anaknya pernah tinggal dan bersekolah di luar negeri. Bahkan di status facebook pun sesekali mereka menggelar diskusi tentang ini. Hmm.... jawaban saya, “Wallahua’lam bishawab.” []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline