Lihat ke Halaman Asli

Ketika Ayahku Kalah dalam Pemilihan Ketua RW

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penulis : Wiwi Yunianto

Umurnya belum genap 10 tahun, tapi keingintahuannya persoalan suksesi atau pemilihan  di tingkat RW telah membuatnya bagai seorang pengamat politik independen. Malam ini ada pemilihan ketua RW di lingkungan tempat tinggal Pandu, secara kebetulan dari tiga orang calon ketua RW salah seorang  adalah ayahnya.

Sejak bergulirnya kabar akan di gelar pemilihan ketua RW seminggu yang lalu, Pandu seakan tak pernah bosan mencuri dengar para ketua RT, beberapa pengurus RW dan cukup banyak warga serta tetangga yang bertandang ke rumahnya dalam rangka memberi dukungan kepada ayahnya.  Tiap malam ada saja orang yang datang ke rumahnya, ngobrol dari selepas Isya hingga larut malam. Secara seksama Pandu mendengarkan pembicaraan orang-orang dewasa itu. Pandu jadi agak memahami perkembangan politik di lingkungan rumah tinggalnya. Pandu jadi ingin tahu lebih dalam  tata cara pemilihan dan proses penggantian Ketua RW. Selama ini Pandu  menerima pengetahuan seperti itu hanya secara terori di bangku sekolah dalam pelajaran Pendidikan Kewarga Negaraan (PKN).

Pandu secara cermat menggoreskan pena di secarik kertas. Tak dilewatkan sedetik pun matanya, telinganya dari penghitungan suara. Turus demi turus telah tergores. Awalnya tiga calon mendapatkan angka berimbang, namun begitu kertas suara tersisa tinggal setengahnya, satu calon hampir tak mengalami perubahan. Tinggal dua calon yang bersaing cukup ketat angka demi angka berubah secara susul menyusul.

Hati Pandu cukup berdebar-debar saat nama satu calon hampir tak mengalami perubahan, padahal calon yang satunya lagi telah mengalami perubahan hampir lima kali. Barulah hati Pandu agak teratur debarannya, saat nama ketua RW lama yang mencalonkan diri lagi sempat mengalami terhenti perubahan angka. Tapi hal itu tak berlangsung lama ketika perolehan suara sama persis, antara Ketua RW lama dengan satu nama calon yang juga sekretaris RW, sementara sisa kertas suara tinggal satu lembar.

Bukan cuma debaran hati Pandu tak berirama teratur, tapi juga keringat dingin telah membasahi wajahnya. Tangan kecilnya yang masih memegang pena pun menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.Dan ketika panita menyebutkan nama Rohim dengan cukup keras, diikuti suara sorak para pendukung Ketua RW lama, kaki  dan tangan serta seluruh tubuh Pandu pun terasa lemas. Pena yang sedari tadi dipegangnya pun terlepas dan jatuh ke tanah.  Pandu jadi merasa begitu lelah, ia pun duduk di rerumputan di luar pagar bambu halaman kantor RW , tempat pemilihan.

Suara seorang lelaki yang sangat dikenalnya cukup mengagetkan, Pandu terhenyak dari keterdiamannya. Pandu bangkit dan berjalan mendekati suara panggilan itu.

“Kanapa Ayah kalah ? “ lirih suara Pandu. Tapi suara itu cukup terdengar oleh ayahnya.

“Itu biasa dalam pemilihan , Pandu. Ada yang kalah juga ada yang menang”. Ayah Pandu tersenyum.

“Apakah ayah tidak cukup pantas menggantikan Pak Rohim ?”  Pandu menengadah memandangi  wajah ayahnya.

“Pandu, ayo kita pulang. Hari sudah cukup malam. Kamu ‘kan harus bangun pagi besok, sholat shubuh dan berangkat sekolah. Besok ‘kan bukan hari libur.”

Pandu serasa enggan untuk beranjak.

“ Ayah, bolehkah Pandu tahu, kenapa ayah kalah dalam pemilihan tadi? “ Pandu seperti merajuk.

“ Boleh, nanti di rumah ayah akan menerangkannya. Sekarang kita pulang, yuk ! Pandu dituntun menuju tempat sepeda motor ayahnya diparkir.

Sepeda motor yang ditunggangi Pandu dan ayahnya menerobos kegelapan malam menelusuri jalan bebatuan menuju rumahnya. Ada yang tersisa di hati Pandu, sebuah pertanyaan; kenapa ayahnya kalah dalam pemilihan RW .

SELESAI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline