Lihat ke Halaman Asli

Antara pengabdian dan profesionalitas

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup itu pilihan saudara-saudara. Mungkin sebagian besar dari anda akan setuju dengan penyataan tersebut. Setiap hari kita dihadapkan dengan berbagai macam permasalahan yang membutuhkan suatu pilihan. Entah itu baik atau buruk, hanya waktu yang dapat menjawab pilihan kita tersebut. Setelah menuntaskan tugas dan kewajiban saya di salah satu perusahaan asing di Jakarta saya memilih untuk melanjutkan karir di perusahaan negara. Memang pilihan yang mengejutkan dengan latar belakang pengalaman dan pendidikan yang saya miliki, setiap orang yang saya temui pasti menanyakan kenapa kamu mau pindah keperusahaan tersebut yang seperti kita ketahui (bukan rahasia umum) bahwa banyak konflik kepentingan didalam suatu perusahaan negara.

Harus saya akui bahwa saya memilih perusahaan ini karena tergiur dengan fasilitas yang dijanjikan. Sebagai manusia biasa saya tidak bisa menolak hal tersebut. Tetapi di dalam diri, saya ingin membuktikan bahwa pendapat orang mengenai perusahaan negara yang penuh dengan konflik kepentingan dapat saya lalui bahkan saya berjanji pada diri saya sendiri untuk membesarkan perusahaan tersebut.
Perjalanan dimulai tepat pada tanggal 23 februari 2014 ketika saya mendapat penugasan ke Pulau Bunyu di Kalimantan Utara. Hari minggu jam 8.50 saya boarding menggunakan maskapai Garuda Indonesia menuju Tarakan dengan transit terlebih dahulu transit di Balikpapan. Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Balikpapan dan Tarakan. Walaupun cuma di Bandara Sepinggan saya langsung menyadari bahwa Balikpapan memang sudah menjadi kota besar karena banyak perusahaan asing mengelola sumber daya alam di kota ini. Tepat pukul 13.30 WITA perjalanan dilanjutkan ke Tarakan tepatnya ke Bandara Juwata. Sepanjang perjalanan menggunakan pesawat jenis Bombardier saya bisa melihat bahwa alam Kalimantan yang dulu saya kenal sebagai pulau penghasil oksigen bagi dunia telah banyak gundul akibat eksplorasi dan eksploitasi batubara maupun sawit. Tiba di bandara Tarakan yang hal pertama yang terlintas dibenak saya adalah panas dan sepi. Walaupun memiliki status kota tetapi kota Tarakan masih belum begitu maju dibandingkan Balikpapan.

Menurut Wikipedia, Bunyu merupakan dalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia. Kecamatan ini beribukota di Bunyu, dengan luas wilayah 198,32 km² serta berjarak ± 60 km dari ibukota kecamatan ke Tanjung Selor. Secara demografis Kecamatan Bunyu memiliki jumlah penduduk 9.810 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 5.214 jiwa dan perempuan 4.656 jiwa. Dari sejumlah penduduk itu, klasifikasi dewasa 6.603 jiwa dan anak-anak 3.267 jiwa, dengan tingkat kepadatan mencapai 49,47 jiwa/km². Masyarakat di Bunyu cukup beranekaragam, bagian terbesarnya adalah pendatang yang berasal dari Jawa maupun Sulawesi. Sedangkan suku aslinya adalah masyarakat Suku Tidung, dengan komposisi Suku Jawa 26,85%, Bugis 25,11%, Tidung 11,29%, Banjar 9,97% dan suku lainnya 26,78%.
Berdasarkan agama yang dianut masyarakatnya pun juga beragam, meliputi: Islam 87,67%, Kristen Protestan/Katolik 12,13%, Hindu 0,03%, serta Budha 0,17%. Dengan Sarana ibadah yang ada di wilayah ini terdiri dari mesjid 14 buah, langgar/mushalla 4 buah dan gereja 5 buah serta vihara 1 buah. Dengan keanekaragaman tersebut, maka secara budaya dan adat istiadat pun juga beragama. Masing-masing suku yang ada secara khas menampilkan budayanya masing-masing, seperti Jawa, Bugis, Banjar, Tidung maupun lainnya.

Setelah mengambil seluruh bagasi, saya meneruskan perjalan ke dermaga Tarakan yang jaraknya kurang lebih 10 menit dari bandara Juwata. Perjalanan ke Bunyu menempuh waktu 1 jam menggunakan speed boat komersil yang berisi kurang lebih 30 orang. Suasana didalam boat sangat-sangat tidak nyaman karena menurut saya kapasitas boat terlalu dipaksa penuh agar pengelola mendapat pemasukan sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan faktor keselamatan penumpang. Untungnya hari itu saya tidak mual sehingga perjalanan lancar sampai tujuan. Ketika dijemput oleh pegawai perusahaan saya langsung bertanya pak kotanya itu yang mana ya. Jawaban pegawai itu cuma senyuman manis sambil berkata nanti mas disana. Beberapa ratus meter saya melihat disepanjang jalan terdapat kampung yang lebih tepatnya dikatakan kampung nelayan. Ada beberapa bangunan yang cukup besar yang digunakan seperti supermarket dan beberapa warung-warung makanan. Saya juga menemukan kantor cabang Bank Mandiri dan Bank Kaltim yang untungnya terdapat ATM dikedua Bank tersebut. Ternyata setelah mendapat penjelasan lebih lanjut batas kota hanya sampai di Bank Kaltim sisanya adalah pemukiman warga dan areal perkantoran beberapa perusahaan. Seketika dalam hati saya berkecamuk ok jadi ini yang harus saya lalui setidaknya untuk 3 tahun kedepan. Saya bukan tipikal orang yang tidak bisa hidup tanpa pusat pembelanjaan atau tempat nongkrong. Sejak kecil saya sudah ikut orang tua untuk menemani beliau dalam tugas-tugasnya hampir diseluruh kawasan Indonesia, jadi saya tidak begitu kaget ketika mendapat penempatan di Pulau yang dapat ditempuh dengan waktu 30 menit untuk mengelilinginya.

Kesan pertama yang saya dapat adalah tempat ini cocok untuk bekerja atau bertapa. Mungkin cocok dengan kondisi saya saat ini yang harus memfokuskan pikiran untuk bekerja dan melupakan apa yang terjadi pada diri saya beberapa waktu sebelumnya. Kembali ke judul yang saya angkat diatas yaitu "antara pengabdian atau profesionalisme", adalah suatu gambaran umum bagi saya saat ini untuk lebih bertanya kepada diri sendiri apakah benar saya memilih untuk bekerja di perusahaan negara ini hanya demi profesionalitas atau memang saya benar-benar ingin mengabdi seperti yang orang tua saya lakukan pada negeri ini. Sebagai anak muda yang butuh banyak tantangan, dengan bekerja jauh dari asal tempat tinggal, sesuai dengan latar belakang pendidikan atau mendapat pengalaman di luar zona nyaman kita menjadi suatu poin tersendiri dalam memilih pekerjaan. Jika diharuskan untuk memilih dalam koridor profesionalitas mungkin saya akan memilih untuk bekerja di perusahaan asing di Jakarta dan berusaha meraih posisi setinggi mungkin di perusahaan tersebut. Banyak orang berpendapat bahwa bekerja pada perusahaan asing itu banyak enaknya karena gaji dan fasilitas yang diperoleh sangat baik. Harus diakui bahwa hal tersebut tidak salah, tetapi belum tentu culture orang Indonesia dalam bekerja dapat mengikuti kultur bekerja orang asing khususnya Amerika atau Asia Timur (Jepang dan Korea). Quote yang terkenal untuk kondisi ini adalah "No Pain No Gain" sangat benar jika anda telah merasakan bekerja pada orang asing. Orang diluar akan beranggapan kalian itu bekerja dengan orang asing sama halnya seperti zaman penjajahan dahulu diperes habis-habisan. Menurut saya hal itu tidak benar karena saya menilai bahwa ketika kita memberikan hasil yang tebaik bagi perusahaan maka perusahaan akan memberikan jauh lebih baik bagi kita. Yang saya sangat kagumi bekerja dengan orang asing khususnya Amerika adalah sikap fair dan kompetitif mereka. Mereka akan dengan ikhlas mengakui bahwa kita bagus jika pekerjaan kita bagus dan akan mengatakan anda jelek jika pekerjaan anda memang jelek. Jika dilihat secara sempit tentang kata kompetitif kita akan beranggapan bahwa kompetisi di perusahaan asing akan saling injak menginjak atau sikut mensikut. Itu tidak bisa dihindari tetapi dari pengalaman yang saya miliki kompetisi diperusahaan asing dilakukan di hadapan mereka bukan kompetisi yang munusuk dari belakang.

Pendapat saya kali ini mungkin akan terlalu menyudutkan perusahan nasional terkhususnya BUMN. Hal yang telah saya uraikan mengenai perusahaan asing mungkin akan sangat berbanding terbalik jika bekerja pada perusahaan pemerintah. Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem orde lama yang masih mengagunggkan slogan ABS "Asal Bapak Senang" di beberapa perusahan pemerintah dapat dengan jelas kita liat. Sistem semi militer yang mengadopsi sistem angkatan dan pangkat masih juga berlaku di perusahaan pemerintah. Dari kacamata saya, hal-hal tersebut yang membuat perusahaan pemerintah kalah bersaing dengan perusahaan asing. Jangan harap kita menjadi negara maju jika kita tidak mau mengubah kultur kerja yang kita miliki. Kita boleh berbangga pada awal masa kemerdekaan bahwa kita lebih hebat dari Korea Selatan tapi tidak sampai 1 abad Korea Selatan telah melampaui jauh diatas kita menjadi negara kekuatan baru dunia. Menurut kacamata saya sebagai warga negara dan seorang profesional, saya ingin melihat bahwa perusahaan nasional kita dapat lebih unjuk gigi di pentas dunia. Mungkin hal tersebut sangat muluk tetapi kita harus mempunyai cita-cita yang tinggi agar tidak tertinggal dari negara lain didunia. Hal pertama yang perlu diubah adalah masalah kultur kerja yang saya sebut sebelumnya. Kalau berbicara tentang kualitas manusia Indonesia saya tidak perlu berkomentar lagi karena saya yakin SDM Indonesia tidak kalah. Bagaimana kita bisa menanamkan rasa tanggung jawab, peduli serta bersih dari KKN sejak dini kepada penerus bangsa ini menjadi PR kita semua. Dari sisi ekternal masalah komunikasi antar perusahaan pemerintah menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana kita bisa membentuk Indonesia Incorporated yang bersatu padu demi kemajuan bangsa ini kedepan.

Coba kita tengok betapa banyaknya perusahaan yang dinaungi Kementrian BUMN meskipun ada beberapa diantaranya yang merugi. Saya membayangkan bisa tidak kita membentuk holding disetiap lini bisnis usaha sebagai contoh kita bisa mendirikan 1 perusahan induk yang mengurusi bidang energi dengan memiliki anak usaha seperti PGN, Pertamina, PLN. Dengan memiliki 1 holding di setiap lini bisnis usaha akan menjadikan kerja sama antar perusahan lebih terkontrol setelah itu perusahaan holding dapat mencari peluang investasi di luar negeri menggunakan dana royalti dari anak usahanya seperti yang dilakukan Singapura dengan Temaseknya. Atau mungkin setelah kita mendirikan holding disetiap lini usaha kita membentuk 1 holding besar yang bertugas hanya untuk mencari peluang di luar negeri.Mungkin dengan cara tersebut sinergi antar perusahaan pemerintah dapat menjadikan lebih maju kedepannya. Pemikiran yang gila untuk dilaksanakan tetapi menurut saya perlu juga dipertimbangkan dari segala aspek jangan sampai kita merugi pada akhirnya. Egoisme antar perusahaan pemerintah juga menjadi kendala tersendiri. Masing-masing  pimpinan ingin membuktikan bahwa mereka itu layak dipilih kembali which is good tetapi jangan samapai karena memikirkan bisnis sehingga kepentingan untuk Indonesia dilupakan. Di sisi lain saya juga ingin berpendapat bahwa seharusnya sistem liberalisasi untuk perusahaan pemerintah layak dilakukan. Bukan menjual perusahaan seperti Indosat yang dilakukan pemerintahan di masa lalu, tetapi melepas saham perusahaan pemerintah dengan tetap memiliki mayoritas saham (minimal 60%) untuk menumpuhkan sikap profesional, keterbukaan informasi dan GCG. Dengan dorongan menjadi perusahaan publik menjadikan orang-orang yang berkerja diperusahaan tersebut lebih bertanggung jawab karena banyak mata yang mengawasi mereka. Sebut saja contohnya seperti Bank Mandiri yang awal mulanya hanya Bank merger dari beberapa perusahaan menjadi salah satu Bank besar dan diakui internasional.

Kembali ke masalah pengabdian bagi Indonesia yang bisa saya lakukan untuk saat ini adalah bekerja pada perusahaan negara dimanapun perusahaan saya menempatkan. Cita-cita saya ingin membawa apa yang saya peroleh di perusahaan asing walaupun cuma sedikit dapat diterapkan di perusahaan negara ini. Mungkin tidak bisa langsung harus melalui proses tetapi segala sesuatu yang baik harus patut untuk dilakukan. Seperti perkataan Neil Amstrong ketika menjejakkan kaki pertama kali ke bulan "Ini adalah satu langkah kecil bagi saya tetapi merupakan langkah besar bagi umat manusia". Semoga Tuhan dapat melancarkan niat kami rakyat Indonesia yang menginginkan Indonesia menjadi negara yang lebih baik lagi dari hari lepas hari.



Demi Tuhan, Negara, dan Keluarga



zca

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline