Kamu masih sama Aldi?
Dari sekian banyak tanya yang bisa terlontar, kurasa pertanyaan itulah yang paling sering kudengar---setidaknya sejak 2020 lalu setelah Aldi pindah kerja ke Jerman, sedangkan aku masih tetap betah di tempat semula.
Kadang tanya itu muncul dari kenalan lama, kadang dari teman kerja, kadang juga dari tetangga atau pedagang sayur keliling yang rutin berhenti di depan rumah. Entah cuma sebagai pemuas rasa penasaran entah apa, orang-orang sepertinya telaten sekali mengecek hubungan kami.
Aldi.
Kami bertemu pertama kali saat sama-sama kelas 3 SMP. Aku 15 tahun, dia juga sama. Hari itu, aku ingat sekali, aku tak dapat pasangan duduk di kelas sebab aku tak masuk gara-gara sakit di hari pertama sekolah usai libur kenaikan kelas. Kupikir aku akan duduk sendirian di tahun terakhir SMP-ku.
Tapi beberapa hari kemudian, aku punya teman duduk: Aldi. Ternyata dia juga tak masuk, bahkan sampai beberapa hari, sejak hari pertama masuk sekolah usai kenaikan kelas. Alasannya, aku tak begitu ingat. Tapi aku masih ingat saat Aldi masuk kelas dan duduk di sampingku untuk pertama kalinya. Kuperkenalkan diri kepadanya, mengajaknya bersalaman.
Dia, dengan mata bulat hitam dan rambut cepaknya, cuma menatapku balik. Tak balas menjabat tanganku, bahkan tak juga menyebutkan namanya. Sebenarnya aku tak ambil pusing dengan tingkahnya. Cuma waktu itu, kupikir aku tak akan berteman atau malah tak akan mau untuk sekadar mengajaknya bicara lebih dulu. Tapi dunia ini terkadang ajaib. Mungkin, penciptanya memang pada dasarnya suka bercanda. Kenyataannya, bahkan sampai 12 tahun kemudian, Aldi masih jadi orang yang paling sering kuajak bercerita.
...
"Tuh, masih ada kan sunset-nya,"