Lihat ke Halaman Asli

Karimatus Sahrozat

Writer, Editor

Dua Puluh Lima

Diperbarui: 10 Oktober 2020   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Via pixabay.com

"Hhh..."

Perempuan di depanku mendesah, entah sudah keberapa kalinya sejak pertemuan kami satu jam lalu. Kalau kamu ada di sini, Wan, kamu pasti cuma akan tertawa. Kamu toh memang selalu pandai menertawakan kehidupan.

"Aku capek, May," katanya, mungkin mulai siap bercerita.

Tapi dia diam lagi, lebih lama dari sebelumnya. Aku ikut diam, menatapnya, menunggu kelanjutan ceritanya. Aku tidak akan menanyainya perihal apa pun yang belum siap dia ceritakan. Sebab aku tahu, dia tidak datang kepadaku karena ingin ditanya. Dia datang karena sedang butuh didengarkan.

"May,"

Dia memanggilku sekali lagi. Kali ini mulai tersedu.

Namanya Anggi. Dia temanku. Bukan teman terbaikku, tapi kurasa dia menganggap kami cukup dekat untuk berbagi cerita dan rahasia. Setidaknya setiap dua atau tiga bulan sekali dia pasti menghubungiku dan mengajak bertemu. Kadang dia berbagi cerita cinta, kadang cerita seputar masalah keluarga, di lain waktu cerita soal teman kerja di kantor barunya, dan sesekali random saja: katanya dia cuma ingin bertemu teman lama.

Namanya Anggi Mahardika, Wan. Kamu mungkin akan mengingatnya kalau sekarang ada di sini. Pernah kuceritakan kepadamu, aku sempat iri dengan dia yang selalu pemberani memperjuangkan keinginan. Aku sempat iri dengan dia yang tidak suka pikir panjang saat akan mengambil keputusan. Aku sempat iri dengan dia yang bisa sebegitu santainya menanggapi setiap candaan dari kehidupan.

Dia 19 tahun waktu pertama kali bertemu denganku di jalanan kampus pada suatu malam. Aku baru keluar dari perpustakaan, baru saja menyelesaikan tugas tambahan sebagai asisten dosen. Dia jongkok sambil menangis tersedu di trotoar. Orang-orang berjalan melewatinya. Beberapa di antaranya berhenti sebentar, menanyainya sebentar, kemudian berjalan kembali meneruskan perjalanan.

Aku sempat ragu waktu akan menghampirinya. Aku memang tidak pernah pandai memulai percakapan. Tapi akhirnya aku ikut jongkok di sampingnya sambil menepuk-nepuk bahunya. Dia menatapku, lalu memelukku sambil terus tersedu. Mungkin sekitar lima belas menit kemudian dia baru berdiri, mengekor mengikuti langkahku. Kami duduk di depan gerai foto kopi salah satu fakultas kampus.

Dia kemudian bercerita kepadaku soal tangisnya. Katanya, dia baru saja putus dari pacarnya yang sudah mati-matian dia perjuangkan. Katanya lagi, dia masuk ke kampus kita demi mengejar orang yang baru saja menyakitinya. Dia bilang, dia sudah mengabaikan banyak kesempatan baik yang datang, dia sudah mengabaikan semua nasihat dari orang-orang terdekatnya, dia sudah melakukan semuanya cuma demi menemukan bahwa setengah tahun kemudian, pacarnya meninggalkannya dengan alasan kamu terlalu baik buatku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline