Kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin akibat persoalan birokrasi. Kita melihat banyaknya persoalan politik saat ini akibat banyaknya partai politik yang tidak sehat. Karena seperti yang kita tahu, baik pusat maupun daerah, antara kelas politik dan kelas administratif bersaing ketat. Mestinya ada transparansi partai politik kepada publik. Karena saat ini juga banyak persoalan black market system dalam partai politik. "Seolah loyalitas diukur dari penyumbang dana. Apa yang diperjuangkan anggota partai harus dibedakan antara cost politic dan money politic ini.
Masalah yang terjadi ini pun akan berimbas kepada kader partai yang duduk di parlemen. "Kita punya DPR kan untuk memberi manfaat kepada publik. Ini yang belum dirasakan publik, Bukan merampok uang publik. Dalam kenyataanya meskipun saat ini 40 persen anggota DPR sebagai pengusaha, namun hal itu tidak memengaruhi berkurangnya anggota DPR untuk melakukan korupsi. "Justru akan semakin kuat antara pengusaha dan penguasa. Ada juga kemungkinan anggota DPR bukan saja bagi pengusaha. Mantan aktivis sekali pun ketika duduk di parlemen dapat mengalami hal yang sama. "Karena tidak tahan dengan kekuasaan dan uang.
Untuk mengatasi kasus-kasus seperti ini pemerintah perlu membenahi partai politik Indonesia. Dimulai dari pembenahan kader dan anggota partai. Karena itu terkait kasus Nazaruddin harus segera dituntaskan agar tidak terjadi anarki di kalangan masyarakat umum. Menurut pendapat Pengamat parlemen Sebastian Salang menilai, kaburnya mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin ke Singapura akibat kelalaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham).
Menurut Sabastian sebelum kasus kaburnya Nazaruddin, tidak sedikit koruptor Indonesia yang terjerat hukum pada akhirnya kabur ke Singapura. Karena itu mestinya, KPK dan Menkumham bisa mengantisipasi tindakan tersebut. Menkumham juga patut dipertanyakan. Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK juga jangan bersandiwara dan harus bekerja dengan sungguh-sungguh dalam menangani kasus-kasus seperti itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H