Lihat ke Halaman Asli

Penguasa Bukan Cermin Rakyatnya

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1295426329856876982

David Efendi "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya" (baca: cermin) ---Soekarno, Pendiri Negara-Bangsa Indonesia Salah satu yang menganggu pikiran penulis sekarang adalah mengenai kebenaran 'mantra' bahwa penguasa mencerminkan rakyatnya, atau bahasa halusnya baik buruknya pemimpin/penguasa adalah sebagai pantulan dari karakter baik dan buruknya masyarakat. Ungkapan ini sangat menarik untuk dikatakan, tetapi mengandung beberapa persoalan serius jika diterima secara taken for granted. Kita harus menanyakan otonomi manusia. Seorang penguasa totaliter bisa saja berbuat sekehendaknya dan sama sekali bukan mencerminkan perilaku sebagian besar rakyatnya yang menghendaki rasa damai, tanpa perang, dan sejahtera. Tetapi penguasa punya logika sendiri, karena penguasa adalah bukan orang kebanyakan. Di sinilah, ungkapan Lord Acton masih berlaku mengenai kevenderungan penguasa berlaku menyimpang (Power tends to corrupt and absolutely power corrupts absolutely). Tidak di negara kerajaan/monarki atau yang mengklaim demokrasi. Penyimpangan selalu muncul bahkan dalam kontek hubungan kekuasaan dalam rumah tangga, sekolah, atau pesantren. Di sini kita sebaiknya bercermin bersama. Sayang seribu sayang, selama ini penguasa memperbanyak cermin hanya untuk tampil hebat di depan media massa dan bukan bercermin bersama seraya memperbaiki kekuarangan, mengurangi kebodohan, dan ketelodaran mengambil kebijakan politik yang berdampak kepada rakyat banyak. Kaca benggala, seharusnya cermin untuk semua bukan malah buruk penampilan dan penuk kritik lalu cermin dipecah belah. Bukannya yang terjadi rakyat menyusahkan penguasa, tetapi penguasa selalu menyusahkan rakyat. Muncul penyataan sejumlah pendekar agama terkait kebohongan pemerintah. Salah satu pemicunya, pemerintah (Pak Beye) mengatakan jumlah masyarakat miskin adalah 31,02 juta, sedangkan jumlah penerima raskin 70 juta (Albiner Siagian, dalam opini Kompas Jan 17, 2011). Angka-angka kembali membawa petaka, rejim kuantitatif itu terjebak sendiri oleh deretan angkanya. Siapa membohongi siapa? jika soal jumlah penduduk versi pemerintah ternyata bohong, apakah kita tetap berani mengklaim bahwa pemerintah cermin rakyat? jika ya berarti rakyat terdiri dari 200 juta pembohong? Hampir tidak masuk akal. Memecah Cermin, memecah bangsa Hiruk pikuk isu pemilihan gubernur lanagsung  DI Yogyakarta adalah salah satu contoh bagaimana pemerintah yang buruk mukanya lalu mengamuk ke segala penjuru nusantara. Kegagalan emmberantas koruspsi, century, Gayus, Lapindo, dan sebagainya lalu dilampiaskan dengan berbuat kerusakan di bumi pertiwi. Ini bukan hanya cermin rusak, tetapi mengancam perpecahan bangsa dalam arti lebih luas. Rasionalisasinya adalah ketika satu daerah berubah sistem tata kelola pemerintahan akan diikuti oleh daerah lain yang mempunyai logika yang sama. Sebagai conth sederhana adalah diberikannya status istimewa propinsi Aceh dan Papua bahkan yang paling exstrem adalah merdekanya Timor-timur dari Republik Indonesia. Porblem kroniknya adalah pemerintah semakin emmbabi buta dalam menerapkan konsep demokrasi ala Barat tanpa melihat kembali kaca benggala atau cermin dari sejarah. Kasus Jogjakarta tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu keistimewaaan adalah gubernur dinobatkan dari kesultanan daan pakualaman sebagai bukti pengakuan legitimasi kerajaan (telah membantu kemerdekaan RI) dan juga pengahragaan kepada rakyat yang dengan senang hati mengakui raja adalaha gubernur. Rakyat senang, jika tidak bisa menemui gubernur, mereka bisa menemui raja-nya dalam berbagai kesempatan sebab raja dalam konsep kekuasaan jawa adalah menyatu dengan rakyat (Manunggaling Kawula Gusti) sementara gubernuran adalah kekuasaan modern, tidak berada dalam ruang konsepsi masyarakat pada umumnya. Seabagi penyimpul, jangan sampai pemerintah kehilangan cermin untuk menata diri, memuliakan kekuasaan, dan mengabdi kepada rakyat sebagaimana slogan kampanye yang terlupakan. sekali lagi, kita harus berani mengkritik pemerintahan bahwa cermin Indonesia sudah retak, jangan sampai penguasa pongah menghancurkan cermin kita, cermin untuk semua yaitu bangunan sejarah agung untuk membangun mimpi-mimpi perubahan di hari-hari yang akan datang. Pemrintah harus bekerja keras, se keras orang-orang miskin di desa pedalaman menggeluti berbagai kesulitan hidup dan mimpi masa depa anak-anaknya: kesehatan, pendidikan, dan kebahagiaan. Pengausa seharusnya bercermin kepada rakyat sengsara (the oppressed) agar tidak gampang mengeluh, tidak patah arang, dan arogan. Cermin ini, ibarat bangsa kita, selalu hadir dengan tujuan untuk memanusiakan manusia. Sialnya, para penguasa tetap mengklaim bahwa pengausa adalah cerminan rakyat. Kebijakan yang anti rakyat dan kesejehteraan, tentu itu sama sekali bukan cermin rakyat, tetapi cerminan setan dalam wujud kapitalisme dan neoliberalisme. Dan dari catatan ini bermuara kepada satu kesimpulan menggelitik, bahwa penguasa dzalim itu sama sekali bukan mencerminkan rakyatnya. Jika, iya pun itu adalah cermin bagian rakyat yang sedang terinveksi penyakit jiwa. Kita harus menolak ide, semua pemimpin dari sistem pemilu demokrasi gadungan itu cermin rakyat! Oahu, jan 16, 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline