[caption id="attachment_254026" align="aligncenter" width="585" caption="Ilustrasi/ Admin (kompas.com)"][/caption]
Lelang jabatan atau sering disebut dengan istilah "job tender" sebenarnya bukan hal baru dalam dunia administrasi publik. Dalam konsep New Public Management (NPM), lelang jabatan sudah dikenalkan dan dipraktekkan di negara-negara barat, mungkin dengan istilah yang berbeda-beda. Tujuannya adalah untuk memilih aparatur yang memiliki kapabilitas, kompetensi dan integritas yang baik untuk ditempatkan pada suatu posisi/jabatan yang tepat sehingga dapat menjalankan tugas dengan lebih efektif dan mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh orang-orang yang tidak memiliki kriteria diatas, kira-kira seperti itulah tujuannya.
Di Indonesia sendiri, lelang jabatan sudah banyak dipraktekkan sejak tahun 2000-an. Pengalaman penulis, sejak awal tahun 2000-an banyak terlibat dalam asistensi seleksi calon pejabat di beberapa daerah, khususnya untuk eselon 3 dan eselon 2, melalui mekanisme fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan). Sebetulnya konsep lelang jabatan tidak jauh berbeda dengan fit and proper test. Namun demikian, ide melakukan lelang jabatan yang dilakukan oleh Jokowi/Ahok cukup menyita perhatian publik, bahkan menjadi trending topic beberapa bulan terakhir ini. Wacana ini menjadi semakin menarik karena banyak orang yang masih 'awam' dengan istilah 'lelang", sehingga ada persepsi bahwa lelang jabatan sama seperti lelang atau tender dalam proses pengadaan barang dan jasa. Bahkan ada yang sempat curiga bahwa, lelang jabatan akan membuka celah munculnya 'kongkalikong' seperti halnya dalam praktek lelang pengadaan barang dan jasa selama ini. Padahal sejatinya lelang jabatan justru bisa mengeliminasi potensi kongkalikong karena dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh pihak yang netral dan kompeten melakukan seleksi.
Ketidakpahaman masyarakat ini sangat wajar, karena bagi masyarakat yang tidak langsung berkecimpung dalam dunia birokrasi, istilah-istilah seperti ini jarang terdengar. Namun masalahnya menjadi lain ketika ketidakpahaman persoalan birokrasi terutama masalah lelang jabatan ini terjadi pada orang yang terlibat langsung dalam pemerintahan daerah itu sendiri. Dua hari ini penyataan dua anggota DPRD DKI Jakarta yang mengkritik keras kebijakan Jokowi ini cukup mengejutkan. Seperti dimuat di Harian Kompas Selasa tanggal 9 April 2013, anggoa DPRD DKI Jakarta dari Komisi C, Ahmad Husyin Alayidrus mengritik bahwa kebijakan Jokowi ini tidak rasional dan minta dibatalkan. Sebelumnya pada tanggal 5 April 2013, anggota DPRD DKI Jakarta dari Komisi A, Rudy Akbar Lubis juga mengkritik keras, bahwa lelang jabatan hanyalah kebijakan populis Gubernur Jokowi dan bahkan dianggap melanggar Undang-Undang.
Mengkritisi kebijakan gubernur/wakil gubernur adalah menjadi tugas utama anggota DPRD DKI Jakarta sebagai mitra sejajar pemerintah daerah (eksekutif). namun kritik yang disampaikan oleh dua anggota DRD tersebut jelas menyiratkan sikap 'ketidaksukaan' terhadap pemerintahan Jokowi/Ahok. Pertama, terlihat sekali bahwa kritik tersebut disampaikan sebelum mereka paham terhadap kebijakan tersebut, baik dasar hukum, tujuan maupun mekanisme lelang jabatannya. Alasan kedua, terlihat tidak berjalannya proses komunikasi dan koordinasi antara DPRD DKI dan Gubernur/Wagub. Seharusnya setiap kebijakan pemerintah daerah yang dinggap 'kontroversial' perlu diklarifikasi kepada pengambil kebijakan (gubernur), bukan berbicara ke media sebelum tahu persoalan yang sebenarnya. Celakanya, kritikan yang disampaikan adalah ketidakpahaman soal proses kebijakan di Pemda DKI.
Proses lelang jabatan sebetulnya memiliki dasar hukum yang sangat kuat. Dalam UU nomor 22/2004 tentang Pemerintahan daerah sudah diatur mengenai wewenang kepala daerah dalam menentukan struktur Organisasi Pemerintahan Daerah (OPD) dan pengijian jabatannya. UU Nomor 43/1999 yang mengatur tentang kepegawaian juga sudah mengatur tentang persyaratan pengisian jabatan bagi PNS. Terkait dengan status 'khusus, bagi DKI Jakarta pun, kebijakan ini sebetulnya tidak menabrak UU Nomor 29/2007 yang mengatur tentang kekhususan Pemprov DKI.Hanya saja pelaksanaannya perlu lebih memerankan pemerintah kota. Dengan demikian terlihat sekali bahwa kedua anggota DPRD DKI ini belum membaca dan memahami produk hukum yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sangat disayangkan jika para wakil rakyat ini tidak mau serius untuk mengelola pemerintahan dengan baik. Jika dasar humumnya saja tidak tahu, bagaimana mereka bisa mengawasi jalannya roda pemerintahan daerah dengan baik. Alih-alih bisa mengontrol jalannya pemerintahan, yang terjadi hanyalah membuat gaduh dan hanya membuang energy dan waktu untuk berdebat mengenai substansi yang tidak dipahami.
Jokowi/Ahok tetap harus dikawal, dikritisi dan juga harus dibantu. Mereka tidak mungkin jalan berdua, melainkan harus dengan dukungan seluruh stakeholders Jakarta, tanpa kebencian, tanpa fitnah dan pikiran negatif. Biarkan energi Jokowi/Ahok tetap tetap terfokus pada perbaikan warga Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H