Lihat ke Halaman Asli

Preseden Buruk dan Presiden Buruk

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Isu pengangkatan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan kini sudah menjadi bola panas dan liar. Semenjak DPR menetapkan menerima dan menetapkan calon Kapolri yang dianggap fit dan proper pada sidang paripurna kemarin, praktis posisi Presiden Jokowi menjadi terjepit dan sulit berkelit. Menarik Komjen Gudi gunawan jelas tidak mungkin, karena sudah diuji melalui fit dan proper test di DPR dan dinyatakan diterima. Tidak melantik Gudi Gunawan, akan berhadapan dengan DPR dan Partai-Partai Politik pendukung Jokowi, terlebih lagi posisi Jokowi sangat lemah mengingat dia bukan pimpinan parpol. Namun jika tetap nekad melantik Jokowi, masalah akan semakin rumit, karena Jokowi akan berhadapan dengan banyak pihak, yakni KPK, Masyarakat dan pihak-pihak yang selama ini konsen dengan pemberantasan korupsi, relawan, bahkan mungkin internal Polri sendiri yang selama ini berseberangan dengan Budi Gunawan.

Ada Apa dengan Calon Kapolri?

Pertanyaan yang sering muncul adalah, mengapa Presiden Jokowi terkesan buru-buru ingin mengganti Kapolri? Jika alasannya karena Kapolri Jenderal Sutarman mendekati usia pensiun, toh kenyataannya masih ada waktu beberapa bulan hingga bulan Oktober 2015 mendatang? Ini menjadi tidak lazim Presiden mengganti Kapolri ketika masih jauh dari usia pensiun. Seolah-olah ada pesan tersembunyi bahwa ada "sesuatu yang salah" dari Sutarman. Namun dugaan seperti ini tak pernah diketahui publik meskipun sempat tercium bau-bau tidak sedap terkait dengan lambannya Kapolri Sutarman dalam menyikapi berbagai pelanggaran pada saat Pilpres kemarin, sehingga Jokowi (khususnya PDIP) tidak begitu cocok dengan SUtarman. Jika dugaan ini benar, maka jelas bahwa Jokowi (PDIP) lebih memikirkan dirinya sendiri atau partainya daripada untuk kepentingan yang lebih besar. Terlebih lagi Presiden Jokowi tak melibatkan KPK dan PPATK dalam menyeleksi Budi Gunawan. Ini jelas tidak lazim dilakukan oleh Jokowi, mengingat dalam proses merekrut pejabat sebelumnya, Jokowi selalu melibatkan dua lembaga tersebut. Di samping itu, menurut beberapa sumber, Budi Gunawan merupakan salah satu kandidatsalah satu menteri di kabinet Jokowi yang akhirnya tidak direkomendasi oleh KPK dan PPATK karena adanya dugaan transakasi rekening yang mencurigakan. Jelas ini semakin menimbulkan kecurigaan yang semakin nyata, bahwa ada kepentingan tersembunyi dari orang-orang dibelakang presiden. Pemunculan calon tunggal Budi GUnawan juga menambah aroma kecurigaan ini semakin jelas, mengingat Kompolnas tidak hanya menyodorkan nama Budi Gunawan, namun ada beberapa calon, bahkan konon ada 9 nama yang diusulkan. Kenapa Presiden Jokowi sangat "percaya diri" menyodorkan nama tunggal Budi Gunawan, padahal Jokowi sudah tahu track record-nya berdasarkan catatan KPK dan PPATK sebelumnya?

DPR Mencurigakan..

Kecurigaan publik tidak saja tertuju pada Jokowi, namun juga pada DPR, mengingat DPR masih meloloskan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Lolosnya Budi Gunawan dalam uji fit and proper jelas mencurigakan, karena "fit and Proper" itu sendiri dimaksudkan untuk menguji "kelayakan dan kepatutan". Secara kompetensi dan kapasitas mungkin Budi Gunawan memenuhi syarat dengan melihat pengalaman selama ini. Namun dari sisi "kepatutan", apakah seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka masih "patut" untuk diberi jabatan sebagai Kapolri, yang jelas-jelas menjaga wibawa penegakan hukum, kemanan dan ketertiban masyarakat? Sikap DPR ini dicurigai bahwa DPR mendapat mementum (khususnya dari KMP) untuk memuluskan strategi yang selama ini dilakukan. Setidaknya dengan meloloskan Budi Gunawan, akan men-"down-grade" kepercayaan publik yang selama ini sangat tinggi dengan branding Jokowi sebagai orang yang "bersih" dan "anti-KKN". DPR khusunya KMP juga semakin bisa membuktikan bahwa dugaan selama ini Jokowi adalah "boneka" partai semakin terbukti, terlihat dengan posisi Jokowi yang sulit mengambil keputusan. Bonusnya adalah, jika Jokowi benar-benar tunduk pada partai dan melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, maka rakyat akan marah dan bisa menjadi pintu untukmemakzulkannya, mengingat Jokowi sudah melanggar etika sebagai pejabat negara, yakni mengangkat seorang tersangka sebagai Kapolri.

Posisi Sulit.

Menyikapi situasi ini, Jokowi terkesan lambat bertindak, karena tidak segera mencabut atau menarik pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri dan menggantinya dengan calon lain yang lebih fit dan proper. Jika dicabut sebelum DPR menggelar ui fit dan proper, maka Jokowi akan memiliki jalan keluar yang smooth, atau setidaknya sebelum diputuskan di paripurna DPR kemarin. Namun jalan inipun tak ditempuh Jokowi dan malah menunggu. Kini Jalan keluarnya semakin terbatas, yakni menolak atau membatalkan Budi Gunawan sebagai Kapolri dengan resiko berhadapan dengan DPR dan partai politik pengusungnya, Melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri dengan resiko yang lebih besar, yakni berhadapan dengan rakyat dan bertentangan dengan Visi Jokowi sendiri untuk melakukan revolusi mental, atau "menunda" pelantikan Budi Gunawan dengan alasan menunggu sampai status Budi Gunawan selesai di KPK. Jika KPK membebaskan Budi Gunawan maka Jokowi tinggal melantik, namun jika terbukti bersalah, Jokowi mengusulkan calon yang lain. Pilihan terakhir ini menjanjikan resiko yang paling kecil, mengingat Jokowi tidak "menolak" keputusan DPR namun hanya "menunda", dan juga tidak melukai perasaan publik dan menelan ludahnya sendiri dari visi revolusi mental. Biarlah cooling down dan tetap Jenderal Sutarman melanjutkan tugasnya sampai habis  masa pengabdiannya, atau mengankat Wakapolri sebagai pelaksana Tugas sementara sampai waktu yang diijinkan menurut UU.

Jika Presiden Jokowi tetap nekad melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, maka tidak saja menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, namun juga akan menjadi sejarah bahwa kita memiliki presiden buruk, yakni mengangkat seorang tersangka korupsi, yang jelas-jelas merupakan kejahatan kemanusiaan, menjadi pejabat negara yang memiliki kewajiban menegakkan hukum dan menjaga moral bangsa. Banyangkan saja, nantinya akan banyak pejabat-pejabat negara ataupun pejabat daerah yang tidak akan mau mundur dari jabatannya jika dia menjadi tersangka korupsi. Untuk apa mundur dari jabatan, jika yang sudah menjadi tersangka saja diangkat?, begitu kira-kira alibiyang akan banyak ditiru. Belum lagi jika keputusan tsb benar-benar terjadi, lalu banyak pejabat negara yang selama ini konsen dengan pembarantasan korupsi (menteri, gubernur, bupati/walikota atau bahkan KPK) rame-rame mengundurkan diri? Jia terjadi, maka pemberantasan korupsi hanya tinggal sejarah, dan upaya KPK selama ini menjadi sia-sia. Pertanyaan yang lebih besar adalah kemana arah revolusi mental ke depan, jika mental pemimpinnya sendiri tidak mengalami revolusi?? semoga tidak terjadi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline