Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Pertama Mengajar Anak-anak Merapi

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebersit mimpi untuk negeri, begitulah tema yang didengung-dengungkan sampai dengan saat ini. Lalu mimpi apakah yang dibutuhkan oleh negeri kita ini? Penulis mempunyai pendapat lain soal ini, hal yang perlu kita impikan untuk negeri kita saat ini adalah kemajuanpendidikan diseluruh penjuru negeri.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah wujud perjanjian luhur para founding fathers terdahulu. Salah satunya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, inilah tolok ukur kemajuan peradaban suatu negara di belahan bumi manapun. Namun apa yang terjadi dengan pendidikan di Indonesia? Banyak yang mengatakan jauh dari kemajuan, terutama di daerah pelosok negeri ini, banyak yang belum terjamah pendidikan. Tidak usah jauh-jauh kita kepelosok bahkan anak-anak di kota-kota besar dan sekitar pulau Jawa saja masih ada yang kurang dengan akses pendidikan yang layak.

Pendidikan sangat penting di suatu negara, dalam suatu negara jika orang-orang yang memerintah adalah orang yang tidak terdidik sama sekali, hancurlah negara kita. Banyak anak-anak di pelosok sana yang sebenarnya sangat berbakat dibandingkan dengan anak-anak manja yang sekolah di perkotaan. Terbukti bahwa prestasi di kancah nasional peraih nilai UAN tertinggi mayoritas adalah anak-anak dari desa yang mempunyai background orang tua tidak mampu. Mereka yang berada di pelosok harus menunggu bantuan pendidikan sedikit demi sedikit. Menunggu para relawan yang bersedia untuk memberikan ilmunya, apalagi untuk daerah yang sangat sulit untuk diakses. Anak-anak cenderung terisolasi dan pasrah terhadap keadaan yang ada. Mereka yang tinggal di hutan lebih memilih untuk mencari kayu bakar daripada sekolah karena akses ke sekolah sangat jauh dan sulit dijangkau.

Siapa para relawan itu? Relawan tidak hanya orang-orang yang terpilih saja, namun ia juga terketuk hatinya, mau menjalankan segala tugasnya dengan rasa ikhlas tanpa tanda jasa. Seperti semboyan guru relawan untuk pendidikan juga harus memegang prinsip itu. Berbicara mengenai tenaga pengajar, bahwa kualitas pendidikan itu sangat ditentukan oleh orang yang mentransferkan ilmu tersebut. Jika tenaga pengajar berkualitas rendah maka anak didiknya berkualitas rendah, begitu pula dengan kualitas pendidikan juga rendah secara umum. Namun jika tenaga pengajar berkualitas tinggi, maka akan sangat berpengaruh terhadap anak didiknya dan kualitas pendidikan itu juga. Kita sebagai mahasiswa yang terdidik lebih dari cukup, sudah selayaknya kita sedikit membuka hati untuk mengabdi kepada negara melalui hal sekecil apapun. Pengabdian memang tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Pengabdian membutuhkan banyak pengorbanan, sedikit nostalgia saat kita masih duduk unyu-unyu di bangku sekolah dasar, ingatlah bagaimana kelakuan kita, apa yang dulu diberikan oleh bapak ibu guru kita. Semuanya demi kita, untuk memperoleh penghidupan yang layak kelak dikemudian hari. Haruskah kita meneruskan perjuangan mereka?

Menjadi tenaga pengajar tidak selamanya harus bersekolah keguruan, dari disiplin ilmu selain pendidikan juga mempunyai peluang sangat luas untuk ini. Pelajaran yang kita peroleh dari sejak kita SD sampai sekarang pun masih ada relevansinya dengan dunia pendidikan. Kita hanya butuh kesabaran yang lebih untuk bisa menjadi pengajar yang baik dan cakap. Seperti guru-guru kita terdahulu mereka sangat sabar terhadap kita, kalaupun ada yang bersikap keras itu semua demi kebaikan kita juga, karakter kita juga banyak terbentuk di sini. Jika kita mau pasti kita mampu. Kekuatan kata-kata tersebut dapat menjadi cambuk semangat untuk kita.

Mengabdi melalui pendidikan sangatlah mulia, dengan adanya kegiatan seperti Gadjah Mada Mengajar sedikit banyak akan berpengaruh juga terhadap kemajuan pendidikan. Terutama di daerah pelosok, sasaran empuk dari kegiatan ini pasti ke daerah yang dirasa kurang mendapat jamahan pendidikan. Bayangkan saja jika masing-masing mahasiswa bisa mencerdaskan satu anak didiknya saja, satu saja, berarti sekitar 6 juta anak Indonesia menjadi terjamah pendidikan. Untuk itu marilah kita sebagai mahasiswa menjalankan tugas sebagai agent of change,dalam segala hal, termasuk pendidikan di Indonesia. Karena selama ini pendidikan kita banyak mendapatkan hujatan keras dari masyarakat Indonesia sendiri. Banyak yang hanya sekedar berwacana saja, ngomong ini itu seenaknya saja, lebih baik langsung bertindak daripada tidak sama sekali. Kita tidak usahlah mengurusi dana pendidikan yang setiap tahun dikatakan mengecil jumlahnya.

Adik-adik kita menunggu kedatangan kita disana, berikanlah sesuai dengan apa yang bisa kita berikan, dalam artian ilmu. Pemberian benda-benda tidak akan dipakai selama-lamanya, namun pemberian ilmu akan dikenang dan diterapkan selama hidupnya. Tantangan sudah diamanatkan kepada kita, sekarang tinggal sikap kita sendiri untuk merealisasikannya. Pendidikan maju bukanlah menjadi mimpi bagi bangsa Indonesia jika apa yang telah diamanatkan kepada kita, dijalankan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab. Ambil kesempatan itu sekarang atau ucapkan selamat tinggal kepada kemajuan pendidikan kita.

Sebersit mimpi itu perlahan kini akan kuwujudkan secara perlahan-lahan. Mengikuti bakti sosial dalam bidang pendidikan adalah upaya untuk mencapai kemajuan pendidikan. Gadjah Mada Mengajar memberikan banyak gambaran secara rinci bagaimana keadaan anak-anak dipelosok negeri. Merapi merupakan sasaran utama dari kegiatan ini, walapun aku hanya sebagai pengajar ngaji, namun dalam hatiku berkata “hebat anak-anak ini”, disaat mereka belum paham rumahnya tenggelam direndam banjir pasir, senyum keceriaan mereka menggambarkan ketulusan hati dan kearifan lokal yang sangat jarang ditemui di kota-kota besar.

Inilah catatan pertama aku mengajar ngaji, “Luar biasa, hari ini aku mendapat banyak teman lucu. Berlarian kesana kemari. Hari ini pertama kali ngajar di Cangkringan. Rasanya amazing banget deh !” Dari beberapa murid, aku terkesima dengan sosok dua orang anak kecil bernama Rino dan Fauzi. Masing-masing mempunyai karakter yang berbeda. Rino anak yang bawel, suka bercerita, suka bertanya, dan pandai menganalisis sesuatu. Sedangkan Fauzi adalah anak yang bandel, suka bercerita tetapi harus dipancing dahulu, takut dengan ledakan plastic yang digelembungkan (trauma merapi, mungkin), bisa mendeskripsikan sesuatu hal, dan over tingkahnya. Sungguh kalian berdua mewarnai hidupku. Lucunya saat diajak jalan-jalan ke kali gendol, mereka memegangi tanganku Rino di kanan, dan Uzi di kiri. Entah apa yang mereka rasakan, hingga saat aku lepaskan tanganku, mereka saling berebut untuk menggandeng tanganku kembali. So sweet sekali kalian ini.

Untuk itu aku mulai berpikir apa guna ilmu yang didapat jika tidak kita salurkan kepada generasi penerus kita, termasuk anak cucu kita nantinya. Jangan sampai ilmu yang kita dapat dari dulu sampai sekarang ini, kita gunakan untuk kejahatan. Dusta kita berlipat ganda kepada orang tua, guru, negara dan Tuhan. Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan kepada kita, namun tanyakanlah kepada diri kita, apa yang telah kita berikan kepada negara kita ini, termasuk dalam hal pendidikan. Sekecil apapun kontribusi yang kita berikan akan sangat bermanfaat bagi mereka yang sangat membutuhkan. Take action now, for the better Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline