Lihat ke Halaman Asli

Aku Bisu, Tapi aku pantas Bahagia kan ??

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan kau risau dengan kekuranganmu

Karena setiap kita terlahir istimewa

Karena apapun kita berhak bahagia

Dan kelap kelip bintang kadang lebih indah daripada cahaya terang

Memasuki desa  Rowokerto, batas tugu desa berdiri kokoh di pertigaan salah satu dusun di kabupaten Kertosono. Rombongan mahasiswa yang kubawa sudah demikian jengah dengan lamanya perjalanan. Seminggu ini aku menjadi dosen pembimbing praktikum lapang ekonomi pedesaan, yang menjadikan desa ini sebagai objek pembahasan.

“ Ok, kita sudah sampai tujuan, setelah melakukan pertemuan selamat datang di balai desa,  kalian bisa beristrirahat di rumah warga yang telah disiapkan...” kataku. Tiga puluh mahasiswa itu segera berkemas, bersiap turun dan berkumpul di balai desa.

Setengah jam mendengarkan beberapa sambutan dari kepala desa, dan jamuan makan siang sederhana  di balai desa seluruh rombongan istirahat di rumah warga yang sudah disiapkan. Begitu pula aku.

“Bu endang, ini tempat istirahatnya ? “ kata pak carik padaku. Sebuah rumah yang termasuk besar untuk ukuran rumah petani. Rumah itu berpagar besi dan mempunyai halaman luas disamping bangunan rumah.

“Assalamu alaikum”

“Walaikum salam, pak carik. Ibu ini yang mau menginap disini ?” kata si pemilik rumah, seorang bapak berusia tujuh puluhan dengan istrinya.

inggih pak...”

“Saya Endang, pak...” sahutku mengajak bersalaman.

“Kardi, tapi orang disini memanggil  kulo pak haji...” jawabnya dengan senyum hangat.

“Ini kamarnya, nduk...” kata istri pak kardi, sambil membawa selimut bergaris-garis dan meletakkannya di atas bantal.

Matur nuwun, bu...”

Sami-sami...” sahutnya dengan senyum.

Setelah mandi  dan merapikan diri, kuputuskan untuk keluar kamar sambil membawa laptop di teras rumah.  Cek email, up date status FB, ato sekedar baca-baca media online  mengisi waktu luang. Udara di desa memang berbeda jika dibanding udara kota. Angin semilir, sunyi, segar, amat terasa menenangkan. Disudut halaman ada angkringan dari bambu dibawah pohon jambu biji, seorang laki-laki sekitar 35 tahunan duduk diam dengan mata menerawang. Entah apa yang dia pikirkan, tiba-tiba aku tertarik untuk mendekatinya. Sekedar basa-basi, pikirku.

“lagi ngapain, pak...? sapaku dengan senyum dan tangan terulur hendak memperkenalkan diri. Namun tidak seperti yang kusangka, laki-laki itu hanya tersenyum dan menghindariku memasuki rumah pak kardi. Siapa dia, mungkinkah salah satu dari anaknya. Sudahlah, biarkan saja..

Aku kembali asyik dengan laptopku, sampai adzan ashar berkumandang. Segera kututup laptop dan bergegas ke balai desa kembali, tempat para mahasiswaku berkumpul untuk breefing acara besok pagi.

...................................

Malam bergerak seiring derai tawa kami bertiga di teras rumah pak Kardi. Beliau dan istrinya dengan penuh semangat bercerita tentang masa lalu mereka. Bagaimana mereka berjuang mempertahankan hidup di masa GESTAPU, sampai sekarang.

“Maaf, pak... saya tadi melihat laki-laki berpakaian putih umur sekitar 40 tahunan masuk rumah ini, apa itu anak bapak ?” tanyaku sopan.

“oo iya itu Nur Said, salah satu dari anak kembar saya. Yang satu namanya Nur Cahyo sekarang jadi guru di SMP kecamatan, yang satu Nur Said yang tadi mbak Endang lihat...”

Aku mengangguk-angguk.

“Mas Nur Said yang bantu-bantu bapak di sawah ya...”tanyaku lagi.

“iya, dia orangnya rajin dan kuat.”

“Tapi sayang nduk... dia bisu, jadi ndak ada wanita yang mau menikahinya...”sambungnya lagi.

Oh begitu, jadi laki-laki tadi menghindariku bukan karena tidak ingin berkenalan denganku tapi karena dia minder dengan kekurangannya, batinku.

“Besok saya minta tolong Mas said ngantar saya ke sawah boleh pak ?”

“boleh, ntar dia biar saya kasih tau...”

........................................

Nur said, laki-laki itu sebenarnya mempunyai perawakan yang lumayan tinggi, agak kurus dan hitam karena tersengat terik matahari sawah.Namun sebenarnya wajahnya juga tidak terlampau jelek,ada sedikit lesung pipit ketika dia tersenyum. Aku berjalan disampingnya tanpa banyak bicara.Dia menunjukkan beberapa lokasi persawahan dan tempat penggilingan padi milik Pak Haji Kardi.

“Mas, bisa membaca  dan menulis ?” tanyaku dengan sedikit menggunakan bahasa isyarat. Dia menggangguk. Kemudian kuserahkan hand phoneku padanya, kusuruh dia menuliskan tentang mekanisme penanaman padi sampai akhirnya penjualan. Sangat tak terduga,tulisannya sangat teratur dan menggunakan bahasa yang bagus. Kalimat yang digunakannya tidak seperti orang yang punya kekurangan. Pemilihan kata dan penggalan antar paragrafnya juga bagus.

“Kamu suka membaca ya?”tanyaku lagi. Dia mengganggukkan kepala.

“Tulisanmu bagus.... ! “ sahutku dengan menunjukkan jempol tanganku. Kemudian aku menuliskan sedikit kalimat di layar hand phoneku “terus belajar menulis,kayanya kamu ada bakat menulis lho mas...”  dan menunjukkan padanya. Dia menatapku seraya tersenyum.

..........................................................

Sejak hari itu, hariku di desa Rowokerto aku habiskan bersama Mas Said. Aku kenalkan dia dengan Handpone dan laptop. Aku kenalkan juga dengan modem dan internet. Aku yakin dia bisa berhubungan dan berkomunikasi dengan banyak orang melalui media itu. Walau sedikit terlambat tapi aku rasa dia berhak mendapatkannya.Bahkan dia tidak sebodoh yang dibayangkan orang, hanya dengan sekali aku ajari saja, dia sudah bisa mengirim email dan membuka facebook dengan akun yang aku buatkan. Aku pikir dengan dia memiliki banyak media untuk mencurahkan isi hatinya maka kepercayaan dirinya akan semakin tumbuh, karena diluar sana banyak orang yang tidak hanya respek dengan badan kekar dan wajah tampan. Banyak orang yang menyukai isi otak dari pada sekedar kekurangan kecil yang sebenarnya bisa kita kelola.

Pak haji Kardi juga bukan petani yang miskin, dia punya uang lebih kalau hanya untuk membelikan Mas Said alat-alat modern tersebut, hanya saja karena keterbatasan pendidikan membuat mereka tidak membayangkan memiliki gadget keren  yang sebenarnya di dunia luar sana bukanlah barang mewah lagi. Jadi dalam satu hari saja Mas Said sudah bisa memiliki semua fasilitas tersebut.

...................................................

Sudah seminggu, ini adalah hari terakhirku tinggal di desa Rowokerto, sudah kukemas barang-barangku sejak subuh tadi, karena jam 8 acara-acara prosedural sudah dimulai. Rasanya waktu berjalan cepat sekali, aku menikmati semua yang terjadi di sini. Masyarakatnya yang ramah, mahasiswaku yang sehat dan lancar semua aktivitasnya, keluarga baruku yang istimewa, dan mas Said yang luar biasa. Aku pasti akan merindukan mereka, tapi aku toh bisa main ke sini kapan aja. Jarak surabaya – kertosono kan cuma 3 jam, lagipula Mas said sudah berjanji akan terus menghubungiku lewat sms atopun Facebooknya.

“Nak,matur nuwun ya... kamu membawa cahaya terang di rumah kami. Padahal kami sudah nrimo dengan keadaan Said yang seperti itu, sudah kami pupus harapan hidup indah bagi dia di dunia ini karena keterbatasannya. Kedatanganmu membuat kami sadar bahwa apapun kekurangan anak kami  dia berhak mendapatkan kebahagiaannya, dan dia berhak untuk memperjuangkan kebahagiaannya itu” kata Pak Haji terbata-bata.

“Sami-sami,pak... disini saya dapat banyak sekali pengalaman berharga dan keluarga yang istimewa” Sahutku sambil tersenyum memandang mas Said yang ada disampingku.

...................................

Acara perpisahan kali ini sangat mengharukan, tidak cuma aku yang merasa enggan berpisah dengan desa ini tetapi para mahasiswaku tampaknya juga betah disini. Bis yang kami tumpangi menuju Surabaya berjalan pelan dengan membawa banyak oleh-oleh dari  Desa kecil itu. Tak Cuma ilmu dan ketenangan tetapi juga kenangan yang tidak akan kami lupakan.

“titt...” Bunyi ada SMS masuk dari Handphoneku. Ternyata SMS dari Mas Said.

“Kamu jangan pernah melupakan aku ya... aku ingin kamu terus bisa bersamaku. Karena kamu telah membuatku menyadari bahwa aku memiliki nilai dalam hidup ini.Walaupun aku bisu tapi aku berhak bahagia kan ?"



Aku tersenyum. Lalu menulis satu kalimat di layar Hpku : “Ya”

Aku belum tahu apakah ini cinta atau hanya perasaan empati saja. Tapi aku bahagia jika melihatnya bahagia dan mempunyai semangat untuk melanjutkan hidupnya yang tertunda. Aku tidak mau menutup hatiku untuk kedatangan cinta dari orang seperti dia. Dan biarkan waktu yang kelak akan menjawabnya. Karena kelap kelip bintang kadang lebih indah daripada cahaya terang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline