Lihat ke Halaman Asli

Mawas Diri Itu Sebuah Naluri

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kita mungkin pernah, ketika kita berkomunikasi dengan orang secara tidak sadar kita mengucap pernyataan yang bodoh, hal yang kebablasan, emosional, keterlaluan atau tidak pada tempatnya ? Karena tidak mawas diri. Atau saat kita berdebat dengan teman hingga akhirnya muncul perkelahian atau pertengkaran? Karena tidak mawas diri. Atau pernahkah kita menyesali karena telah membeli sesuatu yang mudah rusak? Karena tidak mawas diri. Pernahkah kita seharian menonton tv dan nongkrong di depan laptop hingga lupa mandi, lupa makan, lupa mengurus rumah? Karena tidak mawas diri.

Tanpa mawas diri, semuanya akan menjadi di luar kontrol kita, seolah kita tak sadar melakukannya, dan membuang waktu dan energi yang banyak. Tidakkah kita pikirkah bahwa dalam keseharian hidup seringkali tidak menyadari kebiasaan kita dan itu berpengaruh pada orang lain. Bahkan kadang secara tidak langsung merugikan orang lain. Kepekaan kita terhadap hal-hal kecil, lingkungan dan orang-orang disekitar kita membuat kedewasaan sikap, itulah yang disebut mawas diri. Mawas diri adalah kemampuan untuk mengatur respons sosial di dunia nyata, mengubah apa yang kamu lakukan agar sesuai dengan kultur, lingkungan, dan kebiasaan orang yang kamu ajak berkomunikasi. Seperti halnya naluri hewan untuk mempertahankan diri dengan berbagai macam cara agar dia terhindar dari predator, misalnya : Ikan anglerfish (Antennarius) dari Filipina mempunyai satu pemikat yang mirip ikan kecil untuk memikat mangsanya, pemikat tersebut adalah perkembangan dari duri pada sirip punggung pertama. Kunang-kunang jantan dan betina saling tertarik dengan cahaya kelap-kelipnya, pola kelap-kelip ini berbeda untuk setiap spesies. Tetapi ada suatu spesies kunang-kunang betina yang dapat meniru kelap-kelip spesies yang lain, bila jantan spesies yang lain itu datang akan dimakan. Manusia juga (bahkan) mempunyai naluri untuk bersikap waspada atau hati-hati dimana dia berada. Naluri adalah bahasa buana dalam jiwa seorang manusia. Mawas diri itu adalah naluri dasar manusia, namun seiring terabaikan dan terkalahkan dengan seribu macam nafsu keegoan. Bayi justru mempunyai naluri mawas diri yang lebih tinggi dibanding kita yang telah dewasa. Lihatlah ketika kita menggendong bayi, secara refleks si bayi tersebut berpegangan pada tubuh kita, karena dia melindungi dirinya dari kemungkinan jatuh. Selalu, harusnya kita mengasah naluri kita untuk selalu mawas diri. Karena hidup didunia ini seperti hidup di tengah hutan belantara. Manusia dan seluruh mahkluk berlomba dalah mempertahan hidup masing-masing. Lebatnya belantara hidup membuat kita harus selalu waspada, karena hidup begitu keras dan gelap, kadang kitapun harus saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya. Saya pernah membaca sebuah artikel keagamaan (maaf saya lupa link-nya) bahwa seluruh denyut kehidupan itu manusia terikat oleh serabut-serabut panjang dan saling berhimpitan. Manusia dan makluk di dunia ini terikat di ujung serabut itu sedangkan pangkalnya adalah tangan Allah. Serabut-serabut itu mengalirkan takdir-takdir bagi keseluruhan makhluk, dan itulah tanda kekuasaan Allah. Maka menanamkah perasaan kawatir terhadap hal-hal yang akan kita lakukan alias selalu mawas diri. Itu diperlukan karena mawas diri itu semacam rumah kecil untuk persinggahan, bagi seluruh alur dan aliran semangat dalam menjalani kehidupan panjang. Mawas diri adalah tali penyeimbang antara menengok kebelakang dan berhati-hati dalam menatap ke depan. Selalu mengingat bahwa tak ada sekecilpun dzat di dunia ini yang bisa bergerak tanpa ijin dariNya, selalu mengasah kerendahan hati kita di hadapan Allah. Berpasrah atas segala nasib dan takdir bahwa pasti Allah akan membimbing kita selalu pada track yang sebenarnya. Track yang menghubungan kita pada kehidupan abadi di surga. Amin.... Selalu mawas diri Selalu mengasah naluri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline