Lihat ke Halaman Asli

Wahyudi Hari Siswanto

CEO WHS Corpora

Harapan untuk Mendapatkan Suku Bunga Kredit yang Murah

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di dunia setelah RRC, dan diatas India ( 3 negara dengan populasi penduduk masuk 10 besar terbesar di dunia) dimana RRC menunjukkan angka pertumbuhan 7,7 persen, RI sebesar 6 persen dan India 4,8 persen. Hal ini menunjukkan sector usaha di Indonesia semakin membaik dengan tingkat konsumsi masyarakat yang semakin baik pula. Padahal jika dibandingkan dengan negara lain untuk mendapatkan modal usaha, pengusaha/masyarakat harus mengambil bunga kredit pinjaman (lending rate) yang tidak murah. Orang awampun juga paham bahwa modal usaha adalah factor utama penggerak usaha, baik memulai usaha maupun membesarkan usaha.

Berapa besar suku bunga pinjaman kita dan berapa perbandingan dengan negara lain khususnya di Asean?

Sektor mikro (usaha kecil) merupakan penggerak ekonomi riil yang paling mudah diamati. Kenapa riil? Karena sector ini paling banyak menyerap tenaga kerja, kelihatan wujud transaksinya secara kasat mata dan paling banyak digeluti masyarakat, dan jika dikumpulkan nilai transaksinya tidak kalah dengan sector usaha besar lainnya. Biasanya mereka menggunakan kredit usaha jangka pendek (< 5 tahun) dengan bunga tetap (flat rate).

Untuk kondisi ini:

Pengusaha RI harus membayar bunga sekitar 12,01% per tahun, Singapura 5-5,5%.

Mengapa murah?

·NIM (Net Interest Margin/ selisih bunga kredit dengan bunga simpanan nasabah) di Singapura rata-rata hanya sebesar 2,02%, sama dengan bank-bank Malaysia dimana bunga deposito sekitar 0,01% per tahun untuk dana hingga Sin$ 49.999,99, atau maksimum 0,1% untuk simpanan Sin$ 100.000 ke atas

·Di Indonesia, bunga deposito rata-rata sudah 6,56%, sedangkan giro 2,08%, dan terendah tabungan 2,1%. NIM perbankan domestik pun dua kali lipat lebih dari kedua negeri jiran tersebut, yakni di atas 5%. Dengan kondisi seperti ini wajar jika pengusaha menelan bunga pinjaman sekitar 12 % per tahun.

Bagaimana biar suku bunga kredit turun? Mestinya bunga deposito diturunkan dulu. Bunga deposito bisa turun manakala:

·BI rate turun sehingga suku bunga dana atau cost of fund (biaya untuk menghimpun simpanan setelah ditambah cadangan wajib yang ditentukan oleh otoritas) juga ikut turun.

·Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menurunan batas atas bunga simpanan yang memperoleh penjaminan yang menjadi salah satu tolak ukur pemberian suku bunga deposito

·Masih banyak orang kaya yang menyimpan dannya dalam bentuk deposito. Duit dari orang kaya yang jumlahnya banyak tentu saja sangat menguntungkan sebagai sumber dana bagi bank untuk dilempar dalam bentuk kredit. Untuk deposito ini mereka masih mendapat bunga 5,25% setahun untuk dana Rp 500 juta ke atas, atau lima kali lipat dari bunga tabungan wong cilik yang hanya 1% untuk tabungan kurang dari Rp 10 juta atau 1,25% hingga mendekati Rp 100 juta. Jika dua pihak saling menguntungkan (bank dan orang kaya) tentu saja bisnis akan terus berjalan, sementara sisi lainnya (masyarakat yang butuh kredit murah) mendapatkan efek bunga yang tinggi. Disinilah peran BI untuk menjadi wasit yang lihai membaca arah permainan bisnis demi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang semakin baik.

Kondisi diatas baru hitungan untuk siklus bisnis antara pengusaha dengan bank, padahal untuk pengusaha mikro yang menjadi penggerak sektor riil, dengan pinjaman 5-10 juta, masa angsuran pendek (1-2 tahun) kebanyakan tidak terjangkau oleh bank karena memang rata-rata profil mereka tidak bankable. Mereka kebanyakan tidak punya syarat administrasi untuk dibiayai oleh bank, seperti layaknya calon debitur seperti:

·Kopi NPWP (Nomor Pokok wajib pajak)

·Kopi SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan )

·Kopi Akte Pendirian dan Anggaran Dasar Perusahaan beserta perubahannya dari Notaris

·Kopi TDP (Tanda Daftar Perusahaan)

·Kopi rekening koran/giro atau buku tabungan di bank

·Data keuangan lainnya, seperti neraca keuangan, laporan rugi laba, catatan penjualan & pembelian harian, dan data pembukuan lainnya.

·Kopi rekekening koran/rekening giro atau buku tabungan di bank manapun antara 3 bulan terakhir.

Jumlah mereka juga banyak. Untuk kondisi seperti ini, saat ini semakin marak pembiayaan mikro yang menawarkan kredit ke mereka yang tidak terjangkau oleh bank. Perusahaan pembiayaan mikro ini juga butuh biaya operasional dan mengambil margin keuntungan. Anda bisa bayangkan berapa bunga yang harus diambil oleh masyarakat sector mikro untuk menjalankan usahanya? Bisa sampai 25 % atau lebih (2x lipat dari kredit yang dilempar oleh bank). Dengan kondisi seperti ini saja kita bisa membukukan peringkat pertumbuhan ekonomi tertinggi nomor dua di dunia apalagi jika suku bunga kredit di samakan dengan negara tetangga seperti uraian diatas. Pembiayaan diluar bank ini melingkupi sektor yang menyangkut kebutuhan masyarakat menengah kebawah secara langsung seperti, kendaraan bermotor, elektronik, modal usaha, kebutuhan perabot rumah tangga, dsb. Jika saat ini jalanan macet oleh kendaraan, industri otomotif, elektronik, perluasan jalan tumbuh pesat, itu salah satu akibat dari pesatnya bisnis pembiayaan ini.

Konon khabarnya, tingkat suku bunga kredit di Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura, karena:

·Mereka memiliki makro ekonomi yang sangat baik. Kondisi itu secara otomatis membuat premi risiko mereka menjadi kecil.

·Tingkat ekspansi jaringan bisnis di kawasan ASEAN antara bank-bank lokal dan bank asing juga tidak bisa dilakukan. Alasannya, tingkat populasi masyarakat urban di Indonesia dianggap masih tinggi yaitu lebih dari 60 juta orang. Itulah sebabnya mengapa mereka larinya ke Indonesia. Anda bisa cek  bank umum di Indonesia brapa yang dimiliki oleh bank asing dan brapa yang punya Indonesia.

Apa kesimpulan dari kondisi diatas? Menurut saya sebagai orang awam yang ngertinya pokoknya harus murah sering berandai-andai sebagai berikut:

·BI rate diturunkan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menurunan batas atas bunga simpanan yang memperoleh penjaminan sehingga memaksa orang mengurangi simpanan deposito karena sudah tidak menarik lagi sehingga berakibat suku bunga kredit menjadi turun. (Saya gak tahu efek penurunan tersebut, namanya juga berandai-andai dan tidak paham alur permainan BI rate dan LPS)

·Semua perusahaan pembiayaan yang ada dimiliki oleh bank saja, sehingga biaya operasional jadi satu dengan bank, sehingga bisa memberikan kredit dengan suku bunga rendah dan menjangkau masyarakat luas, tentunya dengan perlakuan khusus (tidak mutlak mengikuti aturan UU perbankan) mengingat masih banyak masyarakat yang tidak bankable. Perlu diketahui bahwa menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga September 2013 saja, jumlahpembiayaanindustri multifinance telah mencapai Rp 340 triliun. Sebuah jumlah pembiayaan yang tidak main-main tentunya.

Bagaimana menurut anda? Jika ada analisa, harapan atau data yang keliru silahkan di koreksi dan dibetulin lebih lanjut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline