[caption id="attachment_336021" align="aligncenter" width="565" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Tribunnews)"][/caption]
Ramai-ramai soal bagi-bagi es krim walls gratis di Surabaya yang bikin walikota Bu Risma marah besar karena membuat Taman Bungkul rusak parah membuat penulis menerawang ke belakang puluhan tahun silam saat menjadi hawker atau penjaja es krim ini menggunakan moda tranportasi beroda tiga seperti becak. Biarlah urusan yang di Surabaya ditangani PT. Unilever dengan Pemkot Surabaya.
Yang Penting Halal
Saat itu penulis sudah berkeluarga dan punya anak, karena suatu hal berhenti dari pekerjaan dan menganggur. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari singkat cerita penulis memilih menjadi sales es krim walls yang menggunakan becak. Tak ada lagi rasa gengsi atau malu untuk mencari nafkah, yang penting halal.
Ada beberapa alasan lain kenapa penulis mau menjadi penggenjot becak es krim walls ini, yang pertama merek es krim sudah terkenal, rasa dan kualitasnya cukup baik, tentunya tak begitu sulit menjual
produk ini. Kedua, langsung bisa menikmati keuntungan dari produk es krim yang bisa kita jual.
Laba setiap ikon es krim berbeda-beda, antara 15-20 persen dari harga jual yang terpampang pada becak. Lebih mahal sekitar 10 persen dari harga jual di toko-toko atau mini market. Setiap harinya langsung setor
ke juragan, berapa es krim yang laku, cukup setor harga pokok penjualan es krim tersebut, sisanya berupa laba bisa langsung masuk ke kantong.
Belajar Bisnis dari Es Krim
Terlepas dari segala kekurangan produk ini, penulis yang kebetulan suka bisnis kecil-kecilan banyak belajar dari perusahaan es krim ini, terutama untuk distribusi dan marketingnya. Setiap hawker punya wilayah pemasaran sendiri-sendiri, dilarang saling menyerobot. Hawker punya juragan yang disebut stockist yang membawahi 8-15 hawker. Antar stockist juga dilarang saling menyerobot. Demikian seterusnya berjenjang ke atas.
Sebagai pabrikan es krim terkemuka di Indonesia, produknya selalu penuh inovasi. Setiap musim libur sekolah biasanya ada program bagi-bagi hadiah dengan cara mengumpulkan gagang stik es krim yang bisa ditukar dengan aneka macam hadiah. Papan harga yang ada dibecak juga rutin diganti yang baru termasuk seragam para pengenjot becaknya.
Suka Duka
Jualan es krim ada masa panen dan masa pacekliknya. Dukanya kalau lagi musim hujan, sudah pasti penghasilan turun drastis. Kadang dimarahi ibu-ibu karena anaknya nangis minta es krim apalagi terus membunyikan lagu wajib es krim lewat speaker yang sering diplesetkan "ora enak...ora enak...es krim'e
ora enak"
Sukanya kalau lagi musim liburan anak sekolah, kebetulan penulis 'beroperasi' sampai ke Candi Prambanan, jualan biasanya laris manis, juga ke tempat supit terkenal di daerah Bogem, Kalasan, dimana banyak anak yang sunatan beserta rombongan ke tempat tersebut. Selain itu jualan ditempat ramai saat ada pertunjukkan musik atau jathilan juga lumayan laris. Puncaknya adalah saat jualan pada Hari Raya Idul Fitri. Rata-rata penghasilan terbesar para hawker terjadi saat hari besar umat Muslim, keuntungan bersih bisa sampai satu jutaan atau lebih. Suatu nilai yang cukup besar bagi para sales es krim. Demikian kisah
singkat dari pengalaman penulis menjadi penjual es krim Walls.
Dammam, 12/05/2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H