Jika sebanyak 25 personil Polri yang dinilai tidak profesional dari hasil pemeriksaan Tim Khusus Mabes Polri, dan 15 orang dicopot dari jabatannya, dan ada 3 (tiga) Jendral termasuk Kadiv. Propam Irjen Pol Ferdy Sambo, maka tak salah jika dugaan semakin kuat bahwa dalang penembakan Brigadir J adalah petinggi berpangkat Jendral juga.
Kenapa dikatakan demikian? Karena logikanya, jika hanya kasus tembak menembak antara Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J dengan Bharada Richard Eliezer alias Bharada E murni terjadi seperti yang dijelaskan Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Budhi Herdi Susianto (waktu itu) saat Konperensi Pers, maka tidak mungkin serumit dan berbelit-belit seperti ini. Karena itu dikatakan spontan terjadi peristiwa tembak-menembak.
Akan tetapi, karena adanya skenario atau rekayasa yang dibuat, maka terjadilah pembohongan demi pembohongan, alias kebohongan yang satu harus ditutup dengan kebohongan baru lainnya. Yang menurut Jaya Suprana dalam berbagai seminar, sering disebut secara bercanda, "Cocokology" alias ilmu mencocok-cocokkan, yang didalamnya tak luput dari upaya rekayasa alias kebohongan.
Alasan yang lebih menguatkan lagi adalah, ketika skenario yang disebut sebagai tembak-menembak itu, sangat diduga kuat berasal dari petinggi Jenderal yang terlibat langsung dalam peristiwa itu. Jenderal tersebut juga tentulah yang paling tinggi diantara yang lainnya yang terlibat, karena itulah yang menjadi jaminanya.
Apa alasannya? Pertama, karena ketika skenario berasal dari orang yang berpangkat paling tinggi di kelompok tersebut, maka secara hirarki komando, para bawahan tidak mungkin ada yang berani melawan perintah. Sesuai hirarki, mereka harus siap menjalankan perintah, jika tidak ingin dipecat.
Kedua, karena sangat mungkin tidak punya waktu yang cukup lagi untuk membahas atau menguji skenario dari sang Jenderal tersebut, kalaupun ada yang coba-coba berani memberikan argumen dari bawahannya, setidaknya yang juga berpangkat Jenderal bintang satu. Karena dalam situasi terdesak, biasanya tidak lazim lagi dilakukan kajian skenario, karena harus segera dilaksanakan. Dan selanjutnya tentu harus dapat mengatasi situasi yang timbul dalam perjalanannya.
Ketiga, menurut para ahli, bahwa senjata yang digunakan Bharada E untuk menembak Brigadir J, pistol Glock 17 logikanya tak lazim dipegang oleh seorang Bharada dalam posisinya sebagai pengawal Kadiv. Propam Ferdy Sambo. Karena jenis senjata ini biasanya hanya dipegang oleh petinggi Polri, atau para raja-raja (istilah yang disebut mantan Ka. BAIS, Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto).
Oleh sebab itu, ketika skenario yang tidak ada kajian itu mulai diletupkan dari corong Kapolres Jakarta Selatan waktu itu, mulailah skenario itu diuji di lapangan oleh berbagai pihak. Itu terlihat dari mulai dari gugatan keluarga yang mengatakan adanya kejanggalan ketika menerima mayat Brigadir J di tempat kediaman orangtuanya di Jambi; Kenapa Brigjen Pol Hendra Kurniawan, Karo Paminal Divpropam Polri yang melarang melihat jenazah; Mulai vokalnya Kuasa Hukum keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, SH dan Timnya, mengungkap banyaknya kejanggalan di tubuh Brigadir J yang sudah diotopsi; serta ungkapan dan kritik masyarakat banyak yang memberikan perhatiannya terhadap kasus ini. Secara beramai-ramai menguji skenario sang Jenderal tadi, yang ternyata banyak kelemahannya.
Dan celakanya, untuk menutupi kelemahan-kelemahan skenario tersebut, maka secara beramai-ramai pula, para anggota Polri yang terlibat tersebut melakukan kerjasama dengan cara menutup bocor satu, ke bocor berikutnya, yang ternyata kemudian diketahui, makin besar bocornya. Termasuk, untuk mendukung skenario, maka beberapa faktor penghambat berjalannya skenario, harus dilakukan pelumpuhan, seperti: menghilangkan CCTV dengan alasan disambar petir; Tidak melakukan sebagaimana SOP penyelidikan para polisi tersebut di TKP; dan menghilangkan barang bukti lainnya; dan terakhir diketahui, memperlambat atau turut mempersulit penyidikan. Hal itu justru membuat situasi semakin bertambah janggal, antara yang satu dengan lainnya.
Sementara untuk menutupi bocor-bocor tersebut, para oknum yang terlibat semakin lama semakin blunder dan terjepit dengan sorotan-sorotan masyarakat. Skenario awal mulai babak belur, dengan tudingan dan serbuan kajian para ahli, termasuk mantan Kabareskrim Komjen Pol (Purn) Susno Duaji, mantan Ka. BAIS, Soleman B. Ponto yang turut angkat bicara. Apalagi dalam waktu bersamaan pula, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo sudah mulai terdesak tuntutan publik yang makin ramai mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan kasus ini.
Yang tak kalah pentingnya lagi, keterdesakan Kapolri semakin memuncak, ketika Presiden Jokowi turut memberi perhatian terhadap kasus ini, dengan mengatakan agar kasus ini dibuka seterang-terangnya dan tidak perlu ditutup-tutupi. Demikian juga Menkopolhukam, Prof. Dr. Mahfud M.D, Anggota DPR R.I, para praktisi Hukum seperti yang tergabung dalam TAMPAK (Saor Siagian dan kawan-kawan) dan para Tokoh Masyarakat serta para Pengamat, yang sepakat agar kasus ini terhindar dari kebohongan-kebohongan.