Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Permana

Jurnalis dan pengamat masala sosial kemasyarakatan dan pertahanan keamanan

Rakyat Dukung TNI Hadapi Konflik Natuna

Diperbarui: 6 Januari 2020   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Konflik Natuna antara Indonesia dan RRC semakin meningkat akibat manuver kapal coast guard yang memback up kapal nelayan Tiongkok. Hal ini langsung disikapi oleh TNI dengan menghadirkan kapal perang plus pesawat Boing untuk mengawasi dan mengusir kapal RRC tersebut. 

Kehadiran kapal coast guard dan kapal nelayan RRC di natuna yang termasuk wilayah ZEE jelas merupakan pelanggaran kedaulatan. Langkah TNI mengirimkan armada tempur harus diapresiasi dan didukung oleh seluruh rakyat Indonesia.

Manuver RRC di Laut China Selatan di wilayah ZEE secara nyata telah melanggar ketentuan internasional Konvensi Hukum PBB UNCLOS. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia sempat memprotes tindakan itu lewat pemanggilan Duta Besar Cina untuk Indonesia, Senin (30/12/2019). 

Sikap tegas juga disampaikan oleh Menko Polhukam, Mahfud MD bahwa Indonesia tidak akan melakukan negosiasi dengan China untuk kasus Natuna. Bahkan, Mahfud mengatakan pemerintah akan memperkuat kapal patrol untuk menghalau kapal-kapal ikan di wilayah tersebut. 

Mahfud mengungkapkan sebelumnya China juga pernah memiliki konflik dengan Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Taiwan di Laut Cina Selatan yang telah diakui oleh Southern Chinese Sea (SCS) Tribunal Tahun 2016.

Arogansi RRC
Namun, amat disayangkan pihak RRC malah bersikukuh bahwa mereka tidak melanggar Konvensi Hukum PBB UNCLOS. Pasalnya menurut mereka, para nelayan RRC mencari ikan di wilayah Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus sebagai wilayah historis Laut Cina Selatan seluas 2 juta kilometer persegi. 

Namun anehnya 90 persen di wilayah yang mereka klaim sebagai hak maritimnya, melanggar batas-batas wilayah negara lain. Selain itu wilayah tersebut berjarak hingga 2.000 km dari Cina daratan. Hal ini jelas melanggar kedaulatan negara-negara lain dan wujud arogansi RRC sebagai negara adidaya.

Manuver RRC di wilayah Natuna bukanlah untuk kali pertama. Pertama, Pada Maret 2016, Indonesia berencana menangkap kapal ikan illegal China yang masuk wilayah perairan Natuna. Namun, hal tersebut malah dihalang-halangi oleh kapal Coast Guard China yang sengaja menabrak KM Kway Fey 10078. 

Kedua, Pada Juli 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru. Peta baru tersebut menitikberatkan pada perbatasan laut Indonesia dengan negara lainnya. Nama Laut China Selatan juga diganti menjadi Laut Natuna Utara. Kebijakan pemerintah direspon negative oleh pemerintah China dengan mengatakan penyebutan nama tersebut tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan standar internasional.

Sikap Tegas TNI
Konflik Natuna jelas merupakan ancaman kedaulatan negara dan bangsa Indonesia. TNI langsung mengambil kebijakan untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan di wilayah tersebut dengan mengirimkan personil dan peralatan tempur. Sikap tegas TNI ini sejalan dengan pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan tidak ada kompromi berkaitan dengan kedaulatan negara. 

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto segera menugaskan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksdya TNI Yudo Margono menyebut operasi siap tempur kali ini melibatkan Koarmada 1 dan Koopsau 1 dengan armada lima KRI, satu pesawat intai maritim, dan satu pesawat Boeing TNI AU.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline