Lihat ke Halaman Asli

Vincentius Wishnu

Karyawan swasta yang mencoba mencari dan memaknai sebuah gagasan yang menarik untuk kembali ditaburkan hal baik ke sekitar

Pahami Ragam dari Kesulitan Belajar Anak, Jangan Mudah Sebut Anak Autis

Diperbarui: 5 Desember 2015   03:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock"][/caption]Autis. Sebuah kata yang bukan lagi menjadi istilah asing bagi masyarakat awam. Bahkan kata “autis” muncul dan dengan mudahnya terlontar pada semua usia baik anak, remaja, dan orang dewasa. Terlebih dengan begitu mudahnya mengucapkan kata “autis” tanpa mengerti apa esensi dibalik kata tersebut.

Menjadi sebuah keprihatinan bagi saya, saat melihat orang-orang yang dengan begitu mudahnya memberikan cap “autis” kepada orang lain, bahkan terhadap anak. Dewasa ini, seakan-akan khalayak memaklumi bahwa kata “autis” sebagai sebuah joke atau guyonan. Tidak dipungkiri ada pula sebagian dari pendidik yang dengan sengaja maupun tidak sengaja menyebut kata “autis” kepada rekan sekerja maupun orangtua. Entah menyebutkannya dalam bentuk laporan, bahan pergunjingan, atau sekedar guyionan.

Adanya kemungkinan, saat pendidik menghadapi anak yang memiliki keaktifan yang luar biasa, atau menghadapi anak yang terkadang-kadang sulit memahami instruksi pendidik, kemudian dengan mudah pendidik tersebut memberikan keterangan kepada orangtua bahwa anak yang bersangkutan memiliki kecenderungan “autis” atau mengatakan memiliki kebutuhan khusus. Tentu ungkapan pendidik yang seperti ini tidak dapat dibenarkan. Para ahli psikologi klinis saja, perlu langkah-langkah observasi mendalam saat mengamati perilaku anak, sebelum berakhir pada diagnosis “autis”.

Menjadi sebuah kegelisahan bagi saya untuk menuliskan artikel ini guna membagikan pengetahuan tentang ragam kesulitan belajar yang dihadapi anak. Sehingga nantinya dalam berbicara kita tidak dengan mudah mengatakan ““autis””. Hal ini perlu dipahami karena “autis” bukan sebuah joke atau guyonan.

Sebelumnya, saya ajak Anda untuk mengingat-ingat kembali akan pengalaman pribadi yang anda alami saat mendengar kata “autis”. Kapan pertama kali Anda mendengar istilah “autis”? Siapa orang yang pertama kali melontakan “autis” kepada Anda (teman, sahabat, saudara, pacar, atau orang yang lebih tua dari Anda)? Apa yang membuat Anda dikatakan “autis” pada? Bagaimana perasaan Anda saat pertama kali mengetahui arti “autis” dari rekan Anda, berkaitan dengan pertama kali Anda dikatakan “autis”?

PERTAMA KALI SAYA DENGAR KATA AUTIS

Pengalaman saya pribadi, pertama kali saya mendengar kata “autis” saat saya duduk dibangku kelas 2 SMP. Saya beri inisial teman saya Si X. Saat itu saya memiliki teman yang tidak mau berbicara pada semua teman-teman di kelas, bahkan terhadap guru. Si X hanya mau berbicara pada satu orang teman saja, itu pun hanya beberapa kata.

Tidak ada keanehan atau kecacatan secara fisik yang terlihat pada teman saya. Beberapa teman saya yang mengenal dekat keluarga Si X, saat di rumah dia seperti biasa berbicara dengan orangtua dan saudara-saudaranya. Saat menyelesaikan tugas dan ujian, Si X dapat menyelesaikan tugas-tugasnya layaknya teman-teman lain. Bahkan pada mata pelajaran tertentu Si X terlihat menonjol, terutama pada mata pelajaran sains dan eksakta.

Hingga pada suatu ketika terdapat tugas kelompok dimana saya satu kelompok dengan Si X. Saya lupa bagaimana secara detail kronologi peristiwa yang saya alami saat berproses bersama dalam kerja kelompok. Terdapat teman saya yang dengan nada bercanda mengejek Si X dengan menyebutkan Si X itu “autis”. Sontak beberapa teman yang mengetahui arti tersebut tertawa terbahak-bahak, tanpa memahami bagaimana perasaan Si X. Pada saat itu pula saya bertanya kepada teman yang mengucapkan kata “autis” pada Si X. Teman tersebut menjelaskan bahwa autis itu orang yang kalau diajak bicara tidak dapat menjawab dan cuman senyum aja.

Pemahaman dari istilah autis yang saya dapat dari teman saya masih terbawa sampai pada saya menjalani studi di program studi bimbingan dan konseling. Akan tetapi pemahaman tersebut berubah setelah saya mengikuti mata kuliah Abnormal, dimana salah satu sub pokok pembahasannya menguraikan tentang “autis”. Tidak cukup pada taraf memahami saja, akan tetapi saya selalu risih ketika terdapat orang yang dengan mudah melontarkan kata autis sebagai sebuah bahan ejekan.

SEPERTI DEJAVU

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline