Lihat ke Halaman Asli

Takdir atau Usaha?

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ini ceritaku...

Bermula ketika aku lulus SMP, jujur saja aku sedikit bosan dengan belajar. Belajar sesuatu yang bahkan bukan minatku. Sebenarnya aku ingin sekali masuk SMK, namun ortu tidak setuju, mereka bersikeras agar aku melanjutkan SMA.

"Eman-eman" kalau orang jawa bilang. Akhirnya aku menuruti kemauan ortu. Mereka memintaku untuk masuk ke SMA favorit, dimana jalur masuknya adalah tes tertulis. Jujur, aku sangat tidak suka. Meski banyak teman yang mengajakku tapi aku tetap tidak mau. Aku memutuskan masuk ke SMA yang menggunakan Nilau Rata-rata UN.

Aku mendaftar ke SMA yang cukup favorit di tengah kota, dengan cadangannya SMA yang -katakanlah 'agak' di pinggir kota (jika kalian melihat profilku mungkin kalian akan tahu hihi ^^). Namun ternyata baru 2 hari aku memasukkan data ternyata aku berada di peringkat bawah. Ini dikarenakan sainganku yang memiliki nilai lebih tinggi -maklum, saat itu bocorannya tembus-.

Akhirnya aku mencabut berkas dan pindah ke SMA di pinggir kota. Aku tahu apa yang akan guru-guruku katakan, karena mereka menilai aku bisa lebih baik dari itu. Dan akan kubuktikan, saat mencabut berkas aku teringat kata-kata wali kelasku. "Lebih baik jadi Raja di pinggir daripada menjadi Sampah di pusat."

Saat hari pengumuman aku diterima disana. Senang, tentu saja. Dan sejak itu aku memutuskan untuk bisa sukses meskipun aku sekolah di SMA "pinggir kota".

Selama disana aku berusaha belajar dengan giat, lagipula aku juga punya guru les yang usianya terpaut 2 tahun diatasku. Saat itu dia kelas 3 SMA. Menyenangkan mempunyai guru sepertinya, dia juga sering memberiku masukan. Berkat diapun aku bisa meraih peringat 1 selama 2 semester berturut-turut.

Namun saat aku naik kelas 2, dia melanjutkan ke Universitas yang artinya dia tak memiliki waktu lagi untuk membantuku belajar. Walau dia berusaha menghiburku dengan menawarkan bantuan selama semester awal aku tak menggubrisnya. Rasanya berbeda, lalu aku mengabaikannya. Hanya sesekali aku menemuinya, jika ada soal yang benar-benar tidak aku pahami.

Selama kelas 2 aku terus berusaha belajar sendiri, walau sebenarnya aku hanya belajar jika ada ulangan atau tugas. Meskipun begitu aku tetap bersungguh-sungguh jika ada ujian. Dan hasilnya pada semester 1 aku peringkat 6, dan semester 2 naik menjadi peringkat 5. Aku puas karena itu adalah hasil kerja kerasku sendiri.

Saat kelas 3 sainganku bertambah berat, karena semua siswa peringkat 10 besar dari 4 kelas IPA digabung menjadi 1, dan membentuk Kelas Khusus. Sebelum kelas ini dimulai pun kami harus menjalani 4 kali tes tertulis, jujur saja aku paling tidak suka tes semacam ini. Aku tak pernah belajar untuk tes, mengerjakan pun aku setengah hati, tapi ternyata aku lolos masuk ke Kelas Khusus. Perasaan : campur aduk.

Awalnya aku takut aku akan berada di peringkat bawah, karena sainganku semuanya pintar. belajarpun aku makin jarang. Di rumah, buka buku baca 10 menit kemudian melamun, selesai. Meski begitu jika ada ujian atau tugas aku selalu mengerjakan dengan sungguh-sungguh, akhirnya, voila, aku masuk 10 besar. Kaget?? pastinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline