"Jadi sekarang bagaimana?" tanya saya kepada perempuan berambut pirang yang duduk di sebelah saya, hari belum lewat tengah hari,ketika Dia menghubungi saya, mengabarkan akan mampir kerumah, setelah sesi terapi untuk anak laki laki satu satunya selesai hari itu. Terapi yang sudah si anak jalani hampir 5 bulan ini.
" Baik semua baik, sudah mulai ada kemajuan, Aidan--bukan nama sebenarnya-- udah gak terlalu tantrum sekarang, tidur juga gak susah lagi, kebiasaannya bicara dengan kata kasar juga sudah banyak berkurang, dan tentu saja sudah mulai bisa bergaul dengan temannya di childcare " jawabnya, ada binar bahagia di matanya yang berkaca kaca, rasa bahagia yang juga ikut saya rasakan, karena saya tahu bagaimana perjuangan perempuan yang telah menjadi teman saya lebih dari 10 tahun lalu itu, berusaha menyembuhkan trauma anaknya lewat sesi terapi yang panjang dan berpindah-pindah dari satu dokter ke dokter yang lain. Trauma anak yang berasal dari kesalahan yang tak pernah disadari orangtuanya.
Mereka menikah sekitar 8 tahun lalu,
Tak ada yang salah di awal pernikahan mereka, semuanya terlihat baik baik saja, sampai hadir Aidan, putra mereka satu satunya. Saat Aidan berusia 3 tahunan, mulailah masalah timbul, entah apa yang terjadi, pertengkaran demi pertengkaran tak terlewatkan terjadi setiap hari,setiap waktu, bagaimana dan apa yang mereka katakan dan lakukan saat bertengkar saya tak pernah tertarik untuk mengetahuinya, sampai akhirnya mereka memutuskan bercerai.
Orangtua tak menyadari, bahwa pertengkaran mereka punya saksi, anak laki laki yang usianya 3 tahun itu, selalu ada di sana, menyaksikan dan mendengarkan pertengkaran orangtuanya.
Orangtua tak menyadari bahwa apa yang anak laki laki mereka saksikan dan dengarkan, membawa dampak pada perkembangan emosinya.
Orangtua tak menyadari si anak tumbuh tak normal,dia berbeda dibandingkan teman sebayanya, emosinya tak stabil, selalu meledak meledak, tantrum yang tak bisa ditenangkan, mengumpat dengan kata kata kasar, tak bisa tidur tenang bahkan terbangun dari tidur disertai teriakan seakan ketakutan, belum lagi harus berpindah pindah childcare, karena si anak yang tak bisa bersosialiasi, cenderung kasar dan tak segan menyakiti teman mainnya.
Memang tak ada yang menyadari, karena pertumbuhan emosi anak yang tak normal itu, adalah akibat dari kesalahan yang dilakukan tak sengaja oleh orangtuanya, yaitu selalu bertengkar tanpa peduli anak ada di depan atau di sekitar mereka.
Siapa yang akan menyangka anak 3 tahunan itu, menyimpan semua sesi pertengkarang orangtuanya dalam otak dan hatinya,membiarkannya terus menumpuk, kemudian larut dalam emosi yang ditimbulkan, yang berakibat buruk pada pertumbuhan emosinya.
Sampai akhirnya, masalah demi masalah yang ditimbulkan anak, membuat mereka-----orangtua yang walau telah bercerai tapi tetap bersama---- sadar ada yang salah dengan anak mereka, kemudian berusaha menyembuhkan anaknya dengan memutuskan untuk membawa anak mereka ke spesialis anak, akhirnya setelah berpindah pindah dokter, si anak di-diagnosa mengalami trauma emosi atau PTSD, dan membutuhkan terapi untuk menyembuhkannya.
***