Oleh: Awalludin Ghufi Muallif
Menyambut, menerima.
Resah dan melawan.
Di kampung merah putih tinggalah seorang Ibu bernama Pertiwi. Pemilik gerobak angkringan yang sudah berumur sangat tua.Sudah berjualan ratusan tahun. Walaupun lanjut usia, pesonanya masih terpancar penuh keindahan dan keramahan yang menarik perhatian setiap mata memandang. Ia sudah ada jauh sebelum tanah air ini tersemat sebuah nama. Si Ibulebih dari hanya saksi atau pelaku sejarah perjalanan,karena ialah sejarah itu.
Dulu pelanggannya bukan hanya orang-orang pribumi saja, namun orang-orang dari benua biru dan tetangga se-benua pun berduyun-duyun datang. Mungkin hanya ada disini, bahkan di seluruh dunia hanya punyanya jua yang menyuguhkan berbagai “menu” enak, murah, mewah dan satu-satunya yang pernah ada. wedang kopi minyak, wedang sawit,wedang gas bumi melimpah belum lagi gorengan emas, perak, perunggu, tembaga, timah. Tak ketinggalan “cemilan” padi, tembakau, cengkeh, tebu, jagung, kapuk, jati dan berbagai menu lainya. Maka tak jarang para pelanggan berebut rakus menikmati hidangan itu dan tak sedikit pula pertumpahan darah mengalir. Bertahun-tahun keributanberlangsung, puncaknya ketika para pelanggan asing yang semula hanya pembeli biasa ingin merebut dan merampas serta memiliki sepenuhnya. Nora kaprah ini menggugah rasa cinta tanah air. Perlawanan dilakukan demi mempertahankan hak.
Berjalan tiga ratus lima puluh tahun. Selama itu pula tuan tanah dipaksa menjadi papa papariman dan ngulandara di tanah kelahiranya. Pertempuran tak terhindarkan, darah tumpah tercecer ribuan liter disetiap sudut tempat, bau anyir dimana-mana, air mata tumpah ruah dari kedua belah pihak.
Setelah perjuangan panjang akhirnya mereka pun berhasil diusir. Tepat pada 17 agustus tahun 1945 di Jakarta, seluruh anak-anaknya menyuarakan proklamasi untuk menyatakan, bahwa sejak saat itu kemerdekaan, menentukan arah, berdaulat untuk mengelolah Negeri berada penuh di tangan sendiri.
Keadaan menjadi tenang kembali, Sang Bunda tersenyum sumringah.meski peristiwa yang terjadi tepat dihadapan matanya begitu membekas bak luka sayatan benda tajam yang menghujam kulit. Kini angkringan bersolek indah mengikuti jaman, Gerobak pun beralih jadi sebuah warung yang penuh dengan segala pernak-pernik menghiasi. ia sudah tak seperti dulu, roda jaman berputar, ketenangan menyelimuti dalam balutan ketidakpastian.
Orang-orang yang dahulu bahu membahu mempertahankan jengkal demi jengkal tanah, kini tak lagi menikmati perjuanganya. Generasi berikutnya berebut untuk mengambil alih dengan berbagai dalih. Jangankan dasar kesetaraan kehidupan social, agama atas nama Tuhan pun diperjual belikan. Semua merasa diri dan golonganya paling berhak, mampu dan amanah dalam mengelola. Pemandangan ini terasa sangat menyesakkan, airmata pun tak terasa jatuh, kesedihan terlihat terpancar dari wajah ayu nan indah.Memori pertumpahan darah ketika Ibu Pertiwi hendak direbut pun kembali muncul dan terasa nyata, ia hanya bisa diam terpaku. Peristiwa saling tuding menuding, salah-menyalahkan, fitnah-memfitnah, bunuh-membunuh, di kampung merah putih menjadi budaya serta berlangsung cukup panjang. Terhitung sejak bebas dari genggaman orang-orang Negeri seberang (1945) sampai saat ini (2014).
Fenomena semacam ini dijadikan jalan dan kesempatan bagi orang-orang Asing yang dahulu dipukul mundur untuk datang kembali menyambangi, namun tidak lagi menggunakan todongan senjata dan kekerasan, mereka datang dengan wujud lain. Seperti anjing berbulu domba, berbagai cara dilakukan, segala sektor dirongrong habis atas nama Investasi, kemakmuran, kemajuan, kemanusiaan, kebebasan, teknologi, kesehatan, pendidikan, sampai demokrasi. Dan lebih ironi para generasi penerus Bangsa yang dahulu berjuang mempertahankan dengan segenap jiwa dan raga, saat ini menjadi sahabat dekat mereka yang ingin mengambil “menu” angkringan.
###
Saat langit cerah selepas hujan dan pelangi menampakan keindahanya dikampung Merah Putih Kang Biru dan Cak kuning lagi asyik duduk bersua di temani secangkir kopi di warung Ibu. Membahas banyak hal, kala itu cak kuning berbicara tentang keadilan, kehidupan, kemanusian, cinta, Tuhan, kesejatian, tentang apa saja. Kang Biru sangat khusuk mendengarkannya, maklum umur Cak Kuning jauh lebih tua.
Rambut memutih dan wajah tak lagi muda yang dari tadi juga asyik mendengarkan obrolan mereka tiba-tiba memotong pembicaran sejenak. “Kang jangan ngomong terus itu kopinya di minum dulu nanti keburu dingin”, Cak kuning pun menyahut: “Bu yang panas itu yang kita cari”. Celetukan itu membuat semuanya tertawa lepas. ditengah-tengah gelegar canda tawa datang Neng Merah sambil tersenyum bahagia “Assalamualaikum” sapanya, “waalaikum salam” jawab mereka serempak. “Pada disini toh kalian”, “Bu saya wedang susu satu ya”. Bu pertiwi pun mengangguk dan segera bergegas membuatkan pesanannya.
“Wah ada apa ini, kok kelihatan senang sekali?” tanya Kang Biru
“Yah biasa, tidak ada apa-apa kok” jawab Neng Merah
“Tidak ada apa-apa kok kelihatan bahagia sekali” celetuk Cak Kuning yang dari tadi tenyata turut memperhatikan.
“Iniloh, anak-anak saya pada dapat prestasi semua di sekolahanya, yang di Jakarta rangking satu, terus yang lagi belajar di Surabaya punsama, ehm…satu lagi, anakku yang tinggal di Jawa Tengah prestasinya pun bagus,dan kemaren saya dikabari anak saya di Provinsi Banten naik kelas, oh iya, Kang Biru, apa benar putra-putrimu pada kena masalah semua, masalah apa kalau boleh saya tahu?”
Mendengar cerita dan pertanyaan ituKang Biru hanya bisa terdiam dan sedikit melempar senyum basa-basi. “Aduh ada-ada pertanyaan Neng Merah ini, bikin malu saja” gumam Kang Biru lirih.
“Kan itu sudah jadi rahasia umum toh Neng” celetuk Cak Kuning sambil tertawa lepas.
Mendengar celutakan itu, kang Biru sedikit tersinggung “Wah kamu ini kayak tidak punya masalah saja” sahutnya sambil tersenyum masam.
Sejenak keadaan sunyi seketika, semua orang tak berkata sepatah kata pun.
“Sudah-sudah pada kenapa kalian ini, Aku hanya berpesan sama kalian, ingat kalau dipercaya itu harus sungguh-sungguh dalam menjalankanya. Besikap jujur, adil, dan selalu membela kepentingan rakyat. Kalian sekarang sudah enak tinggal meneruskan. Dulu pada masa masih di jajah, jangankan bisa bercengkrama dengan asyik di tempat seperti ini, keluar rumah pun takut. ingat itu!. Didik anak-anakmu dengan baik. Masak sekarang ini korupsi dimana-mana, kesejahteraan tak terlihat nampak, pendidikan jadi momok, tawuran jadi gaya hidup pelajar, orang menjalankan keyakinan beragamanya susah. Mau jadi apa kita? Katanya ini Negara Hukum. Tapi kenapa hukum tidak begitu kokoh untuk menyangga cita-cita dan harapan bersama” Ucapnya dengan nada berat.
Pertanyaan dan Nasihat Ibu pertiwi menjadi tamparan keras kepada mereka.
Keadaan kembali senyap, entah apa yang terlintas dibenak mereka. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Tiba-tiba mereka dikagetkan dengan kedatangan rombongan yang tampak dari kejahuan seperti bala tentara menujuperjamuan.
“Tuh, teman-teman kalian datang” ucap Ibu, seraya tersenyum penuh arti.
“Siapa Bu?” Cak Kuning bertanya penuh rasa penasaran.
”Wah jangan-jangan…” celoteh Kang Biru sambil menajamkan pandangan matanya kearah rombongan yang sedang berjalan mendekat.
“Jangan-jangan...“
“Apa Kang!” sahut Neng Merah dengan santainya.
“Wong sama sahabatnya kok tidak ingat, apa kamu pura-pura lupa sama mereka”.
“Bukankah mereka itu Dik Putih, Si Ijo bersama kembaranya, Mas Orange,dan kembaran Kang Biru hehehe…” Celoteh Cak Kuning sambil tersnyum sinis.
“Ngapain mereka ikut-ikutan kesini ya” gumamnya dalam hati.
“Kalian pada kenapa? Sudah, biarkan saja semua kemari, kita dapat berkumpul bersama-sama, lagian jajanannya masih banyak kok. Mereka sudah pernah ibu kasih wejangan panjang lebar sama seperti apa yang baru saja kalian dengarkan tadi. Jadi biarkan saja ikut berkumpul disini. Sebentar lagi kan Ibu mau membuat sayembara di kampung merah putih ini” Ucap Bu Pertiwi.
“Sayembara apa Bu?” Cak Kuning, Kang Biru dan Neng Merah serempak menyahut apa yang barusan diucapkan oleh Ibu Pertiwi.
Belum juga mereka semua mendapat jawaban dariny, rombongan yang nampak dari kejahuan pun sudah sampai, sontak suasana menjadi sangat ramai penuh warna.
“Kebetulan kalian datang” sambut Ibu.
“Kebetulan kenapa Bu?” Tanya rombongan yang baru saja datang seraya mengambil posisi tempat duduk nyaman bagi mereka.
“Akan ada sayembara untuk mengelola warung ini, tapi yang memilih bukan saya, melainkan masyarakat sini. Ibu hanya mengamini apapun yang sudah menjadi keputusan masyarakat. Siapapun boleh ikut sayembara ini. Tapi ingat, jangan gunakan cara-cara yang curang, cara-cara yang menodai kesucian darah para pahlawan terdahulu, itu pesanku” Ucap Ibu sambil menatap tajam kepada semua orang yang sedang asyik menikmati suguhan di Warungnya.
Mendengar ucapan itu, tak ada satupun diantara mereka berani menegakan kepala, semua hanya mampu menunduk, saling melirik kekanan-kiri, seraya memasang telinga mendengarkan apa yang telah disampaikan. Kedengaranya ringan, tetapi nasehat ini terasa sangat berat bagi mereka semua.
Tak lama setelah itu dengan kompak mereka semua menjawab, iya Bu.
“Iya apa?” jawabnya, sambil meninggikan nada bicara.
Lagi-lagi mereka semua membisu seketika, entah perasaan seperti apa yang saat ini dirasakan, mereka sendiri tak dapat memahaminya.
Terlihat di ujung barat, matahari hendak menuju keperaduan, langit pun memerahtanda malam segera tiba. Kecantikan yang menua pun berpamitan kemereka yang sedang asyik menikmati menu-menu sajianya. “Silahkan kalian disini, ingat pesanku baik-baik dan jangan pernah kalian menghianati sebuah kepercayaan camkan itu baik-baik.” Ucap Ibu pertiwi seraya berjalan meninggalkan warungnya.
Yogjyakarta
Kopi hitam
Tidak masuk akal
Fakir miskin
gelandangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H