Lihat ke Halaman Asli

Ketika Millenial Memilih Rasional

Diperbarui: 12 Mei 2024   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu dan Pilpres 2024 baru saja usai, namun tidak dengan dramaturgi para politisi. Segera setelah pengumuman MK menolak gugatan kubu Anis-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, lobi, kompromi dan koalisi ditampilkan kembali.

Meski diwarnai banyak drama, tapi, kita tetap perlu melihat perjalanan demokrasi ini lebih obyektif. Mengingat demokrasi yang kita anut adalah suara dominan, maka saat ini sebenarnya kita sedang menunggu adanya gerakan baru, dinamika politik yang lebih segar, lebih rasional, dengan hadirnya populasi milenial sebagai kelompok dominan.

Disclaimer, kita perlu melihat milenial tidak dalam tinjauan pengelompokan usia (an sich), tapi lebih pada kemampuan melihat visi jauh ke depan. Tempat di mana politik tidak lagi terdistrosi oleh kepentingan sirkulasi pemimpin dan perang identitas, melainkan menjadi ajang adu-gagasan, reproduksi ide dan penguatan civil siciety.

Kita perlu melakukan refleksi kritis, meninjau kembali bagaimana praktek pemilihan langsung yang sejak reformasi 1998 telah secara periodik menghasilkan sesuatu yang menggembirakan jika melihat angka partisipasi. Namun di sisi lain, Pemilu, Pilkada dan Pilkades sebagai praktek demokrasi justru membuka pintu bagi tumbuh dan menguatnya kembali tradisi feodalistik, dan ragam narasi politik identitas yang sangat mengganggu.

Drama kue kekuasaan

Ya, atas nama demokrasi, angka terbanyak, yang ramai, yang populis, akan (dan masih) mendominasi ruang publik, -yang ironisnya adalah rekondisi bagi kelompok penguasa lama. Diskursus politik kenyatannya masih didominasi oleh pembahasan figur-figur yang dianggap potensial dengan pertimbangan popularitas, atau jaringan keluarga.

Asumsi ini tentu saja bisa diuji: "berapa banyak pemilih Prabowo-Gibran yang menjatuhkan pilihannya karena "ajakan" Jokowi?" Sama halnya ketika kita mengajukan pertanyaan: "Mengapa sejumlah akademisi dari beberapa perguruan tinggi tidak tahan untuk ikut menunjukkan keberpihakannya sambil menunjuk pihak sebagai sebagai pendosa?"

Toh pada akhirnya proses ini akan bermuara pada ayunan palu lembaga hakim tertinggi -MK, yang tidak boleh diragukan kredibilitasnya.

Jadi, segala jenis teriakan curang, sebenarnya hanya mempertegas bahwa demokrasi yang sedang kita jalani belum beranjak dari watak pragmatism kelompok-kelompok yang terlalu takut kehilangan kue kekuasaan.      

Sebaliknya, tema-tema terkait program, visi, atau bagaimana mendorong penguatan civil society, kurang terdengar atau nyaris tidak mendapatkan tempat di ruang-ruang diskursus politik.

Kehilangan konteks

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline