[caption id="" align="aligncenter" width="534" caption="Gambar: http://www.wfto.com/events/international-human-rights-day-0"][/caption] Setelah 10 tahun era pemerintahan SBY tidak pernah diselenggarakan Hari HAM (Hak Asasi Manusia), kini Presiden Jokowi menghadiri peringatan Hari HAM 10 Desember 2014 yang dipusatkan di Yogyakarta. Dalam pidatonya, Jokowi menyatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu secara berkeadilan. Jokowi memegang teguh rel konstitusi atau UUD 1945 yang sudah jelas memberikan penghargaan terhadap HAM sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dikatakannya, untuk kasus penuntasan HAM berat ada dua jalan yang bisa ditempuh, yaitu melalui pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi secara menyeluruh atau melalui pengadilan HAM adhoc. Jokowi menegaskan bahwa pelaksanaan HAM juga tidak sekadar penegakan hukum tetapi bagaimana mewujudkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk seperti hak mendapatkan pelayanan kesehatan serta kebebasan beragama dan beribadah. Pada akhir November 2014 lalu kebetulan saya mengikuti diskusi Komisioner Komnas HAM, Ibu Siti Noor Laila dengan Jend. (Purn.) Luhut Pandjaitan di kantornya. Komnas HAM berharap di era pemerintahan Jokowi ini kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di masa lalu bisa diselesaikan paling tidak dalam 3 tahun ke depan. Perlu diwujudkan sebuah Rekonsiliasi HAM semacam "rujuk nasional," dengan catatan pelanggaran HAM tersebut tidak lagi dilakukan. Harus ada niat baik dari semua pihak untuk bisa saling memaafkan. [caption id="attachment_381739" align="aligncenter" width="490" caption="Jend. (Purn.) Luhut Pandjaitan dengan Ibu Siti Noor Laila, pimpinan Komnas HAM. dok. pribadi"]
[/caption] Seperti saya baca pada artikel yang dirilis Luhut Pandjaitan di website pribadinya yang berjudul Forgive Not Forget tentang sikap yang patut diteladani dari Nelson Mandela. Ia bahkan memaafkan orang-orang yang telah 'merampas' hak asasi dirinya. Sikap pemberian maaf yang luar biasa dari Mandela yang bisa dicontoh dengan memberikan "pardon" ketika ia menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan tahun 1994-1999. Menurut saya, apa yang telah terjadi pada masa lalu tidak bisa ditarik pada konteks masa kini. Situasi dan kondisi waktu itu sangat berbeda. Kita selesaikan pada jaman ini saja. Karena kalau kita tarik ke belakang terus, tidak akan berhenti, tahun '98, tahun 80-an, dan apa mau kita teruskan hingga tahun '65 dan seterusnya? Menarik dalam diskusi Luhut Pandjaitan dengan Komnas HAM itu, beliau sedikit berkisah. “Saya teringat ketika Peristiwa Malari tahun 1974, saat itu saya adalah komandan kompi Kopashanda. Ketika menghalau para demonstran, kami yang sejak pagi belum makan melihat bahwa kerumunan demonstran itu berangsur-angsur berubah, sudah bukan lagi mahasiswa. Lalu ketika anak buah saya dilempari batu dan bocor kepalanya, maka saya memerintahkan untuk memberikan tembakan peringatan. Apa yang terjadi adalah awalnya tembakan itu ke arah atas namun saya lihat malah semakin ke bawah. Saya pun langsung memerintahkan ‘Hentikan tembakan.. hentikan tembakan...!’ Jika itu terjadi di masa kini, ya itu mungkin pelanggaran HAM. Namun pada konteks jaman itu. Apa iya?” ujarnya. Saya percaya, in good faith, ajaran agama apapun mengajak kita untuk bisa saling memaafkan. Karena hidup dengan mendendam terus itu melelahkan. Sudah semestinya kita bersama-sama membangun spirit untuk kebaikan Indonesia di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H