Lihat ke Halaman Asli

Perang Distrust

Diperbarui: 4 April 2022   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Masa pasca Pandemi di Indonesia ditandai dengan semakin meruncingnya public distrust terhadap lembaga lembaga sosial/publik..

Bahkan terkesan ada perang proxy antar lembaga negara dengan lembaga lembaga sosial. Mulai dari diambil alihnya otoritas sertifikasi halal oleh negara dari MUI yang selama ini menjadi penguasa tunggal 'bisnis' halal. Label halal yang awalnya ditujukan untuk produk bahan makanan, dinilai oleh banyak pihak sudah kebablasan, bahkan produk seperti Kulkas pun dilabel halal,.. (emang siapa yang makan kulkas?) ditambah lagi, dana sertifikasi  halal yang merupakan dana yang bersumber dari publik ternyata tidak pernah diaudit secara terbuka. MUI menjelma menjadi korporasi mengatasnamakan ummat. Maka negara merasa perlu hadir untuk mengontrolnya sebagai bentuk sikap tidak percaya lagi terhadap ormas yang bernama MUI.

Namun, cerita distrust ini ternyata tidak sampai disitu,.. masih hangat perdebatan tentang otoritas halal, pubik kembali disuguhkan dengan drama pemecatan dokter Terawan oleh IDI. Buntutnya, banyak anggota IDI menyatakan mosi tidak percaya - distrust terhadap pengurus IDI dan segera menyatakan diri keluar dan siap membentuk IDI tandingan,...

Beberapa waktu lalu, organisasi para kepala desa yang bernama APDESI menggelar perhelatan akbar untuk bertemu Presiden Jokowi di Istana dengan isu centralnya memberi dukungan bagi Jokowi, meski dalam suasana bergurau,  untuk maju lagi ketiga kalinya. Ternyata, belakangan hal ini memicu konflik dengan lembaga APDESI lainnya yang mengaku merupakan lembaga resmi yang berbadan hukum. Buntutnya? APDESI yang 'resmi' menyatakan distrust kepada Jokowi dan tentu saja pada mereka yang berkumpul saat itu dengan membawa nama APDESI.

Dalam ranah organisasi agama pun fenomena distrust ini juga mengemuka. Terakhir, riak riak politik mobilisasi dan kooptasi kekuasaan terdengar pada perhelatan Sidang Majelis Sinode GMIM, sebuah lembaga Gereja terbesar di Indonesia,.. nuansa distrust atau mosi tidak percaya semakin kencang digulirkan oleh warga GMIM yang tidak sudi organisasi gerejanya dikooptasi kekuasaan.

Fenomena fenomena diatas bukan hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Sejak dulu, soal public trust and distrust ini sudah jadi bagian dinamika peradaban. Pertanyaanya, kenapa akhir akhir ini semakin sering terjadi? Dalam pengembangan teori Konstruksi Sosial yang saya tulis dalam disertasi saya tahun 2017, fenomena ini saya sebut sebagai fase co-deconstruction alias fase 'merombak bersama'.

Kenapa Kog "merombak"? ya,.. esensi konstruksi sosial itu, setelah melewati fase peradaban mula mula maka saat ini kita ada pada masa dimana sosial akan selalu mencari titik keseimbangan "equilibrium". Pada titik ini, konstruksi sosial kita akan memiliki prinsip yang sama seperti hukum kekekalan energi, "tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan" . Maka yang terjadi adalah siklus "co-construction" - "co-deconstruction" - "co-reconstruction",.. bersama membangun, bersama merusak, dan bersama membangun kembali,.. begitu seterusnya. Kenapa ? karena ini adalah bentuk 'energi sosial' yang bergulir terus untuk menemukan titik keseimbangan equilibrium. Ibarat naik sepeda, harus terus bergerak agar tidak jatuh. Energy mencari keseimbangan itulah yang kemudian terwujud dalam dinamika sosial yang penuh warna ... salah satunya adalah perang 'trust' and 'distrust' antar lembaga sosial  (termasuk negara)- yang notabene juga merupakan hasil dari proses konstruksi sosial.

Lantas kapan berakhir? jawabannya: Tidak akan pernah berakhir selama manusia masih hidup dan punya ambisi!

Bahkan melihat fenomena pasca pandemi, sepertinya memang kita akan memasuki fase "co-deconstruction" atau "merombak bersama", karena Pandemi Covid 19 membuktikan bahwa tidak ada konstruksi sosial yang benar benar tangguh dan paten, apalagi berada pada titik equilibrium. Pada masa "co -deconstruction" ini, yang akan lebih dominan adalah perang ketidakpercayaan (distrust war) antar lembaga sosial termasuk lembaga negara. Hal ini akan semakin memuncak seiring dengan agenda politik nasional kita tahun 2024. Rasa saling curiga dan tidak percaya akan mendominasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita. Media sosial akan diwarnai dengan saling maki, saling hujat,  saling menebar hoax dan kebencian. Maka benarlah kata filsuf  dan penulis tragedian Yunani Kuno Shopocles, "trust dies, but mistrust blossom".

Makanya, lebih bijak untuk menepi dari hiruk pikuk perang perang ambisius dan biarlah energi untuk "membangun" "merombak" dan 'membangun kembali' menjadi proses internalisasi diri sendiri untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Sehingga, ketika kita berada dalam konteks sosial, kita akan lebih banyak untuk menjadi juru damai bagi yang berperang. Bulan Ramadhan yang penuh berkah ini adalah waktu yang sangat baik untuk melatih diri menepi dari hiruk pikuk dunia dengan segala macam perang  distrust nya. Semoga!

Catatan renungan malam pertama Ramadhan,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline