Meski hasil akhir penghitungan suara masih harus menunggu rekapitulasi manual yang dilakukan secara berjenjang didalam rapat-rapat Pleno (PPK, KPU Kabupatan/Kota dan Provinsi), ucapan "Selamat" rasanya pantas segera disampaikan kepada warga Jakarta. Bukan untuk kemenangan Paslon Pramono-Rano, karena sekali lagi, pemenang kontestasi belum bisa dipastikan. Melainkan untuk tiga capaian penting pada hari puncak Pilkada 2024 ini.
Sabar Meski Diperlakukan Tak Ramah Secara Politik
Pertama, warga Jakarta telah berhasil mengambil peran positif dalam proses pembaruan kepemimpinan dengan datang ke TPS dan memberikan hak suaranya tanpa disertai tindakan atau perilaku anti-demokrasi semisal kegaduhan dan kekerasan. Padahal mereka telah diperlakukan dengan tidak ramah secara politik oleh para elit pada saat kandidasi.
Sebagaimana saya ulas dalam artikel sebelumnya, sebagian besar warga Jakarta (setidaknya menurut hasil survei dan pemberitaan media massa) sesungguhnya memiliki figur-figur yang mereka nilai cakap dan pantas untuk memimpin lima tahun kedepan. Salah satu figur yang paling dikehendaki itu adalah Anies Baswedan. Melalui berbagai manuver vulgar, para elit partai dan penguasa telah mengakibatkan Anies gagal maju sebagai calon Gubernur.
Alih-alih mendengar dan memenuhi aspirasi warga, para elit partai justru "mengimpor" dua figur dari Jawa Barat dan dipasangkan sebagai calon pemimpin Jakarta lima tahun kedepan. Meski demikian, warga Jakarta tidak kemudian mengambil langkah fatal dan destruktif, misalnya memboikot Pilkada atau ramai-ramai menyerukan Golput.
Sempat memang ada "Gerakan Coblos Semua." Tapi sejauh yang dapat diamati, gerakan ini tidak cukup siginifikan memberi pengaruh. Warga Jakarta tetap datang secara normal ke TPS, dan pula (nampaknya) memberikan suara dengan cara yang juga normal sesuai ketentuan.
Sukses Menghindari Bangkitnya Kembali Sentimen Primordial
Kedua, warga Jakarta juga telah berhasil memperlihatkan kedewasaan politik dalam melaksanakan hak demokrasi elektoralnya dengan menyimpan rapat-rapat luka lama Pilkada 2017 akibat politisasi identitas dan reaksi yang sebangun sisi destruktifnya atas politisasi itu.
Puncak Pilkada siang tadi dan hingga sejauh ini, tidak lagi diwarnai dengan polarisasi tajam dan kegaduhan yang diakibatkannya. Meminjam dan mengadaptasi statemen Ahok, warga Jakarta faham bahwa kepentingan negara harus mengatasi sikap-sikap primordialistik.
Padahal di fase kampanye, Paslon Kamil-Suswono sempat "keseleo lidah" soal Janda yang dianggap merendahkan Nabi Muhammad dan nyaris saja memicu kembali bangkitnya sentimen primordialisme keagamaan.
Beberapa pihak, termasuk bagian dari warga Jakarta, memang sempat membawa kasus ini ke ranah hukum dengan jenis pelaporan penistaan agama. Tapi secara umum warga Jakarta berhasil menunjukan kedewasaan politik dan demokrasinya dengan tidak ikut-ikutan ngomporin dan meramaikannya. Jakarta tetap kondusif, dan hari bersejarah tadi berlangsung aman dan damai.