Lihat ke Halaman Asli

Agus Sutisna

TERVERIFIKASI

Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Kotak Kosong, Pseudo-Democracy, dan Langkah Mendesak Menyikapinya

Diperbarui: 7 September 2024   11:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.depokpos.com

Meski tidak sebanyak yang diperkirakan di awal perhelatan, Pilkada serentak 2024 akhirnya bakal menyajikan kontestasi pseudo-democracy di 1 Provinsi, 35 Kabupaten dan 5 Kota (total 41 daerah) di seluruh Indonesia. Yakni Pilkada yang diselenggarakan dengan mengikutsertakan Kotak Kosong sebagai "peserta."

Mengapa Kotak Kosong jadi peserta? Karena pasangan calon dari species manusia tidak lebih dari satu pasangan calon alias calon tunggal. Sementara secara qodrati yang namanya "pemilihan" jelas wajib ada obyek yang akan dipilih, dan obyek itu wajib lebih dari satu jumlahnya. Jadi, kehadiran Kotak Kosong sebagai peserta Pilkada dimaksudkan untuk menunjukan bahwa rakyat tetap punya pilihan, demokrasi elektoral di daerah masih ada.

Lalu mengapa Pilkada dengan calon tunggal, meminjam istilah yang digunakan George Sorensen, layak disebut pseudo-democracy, demokrasi semu? Nanti kita ulas di bawah. 

Jumlah total calon tunggal Pilkada ini bertambah (dan trendnya memang terus mengalami peningkatan) dibandingkan dengan Pilkada serentak periode-periode sebelumnya.  Pilkada serentak pertama tahun 2015 baru terdapat 3 paslon. Kemudian bertambah jadi 9 paslon di Pilkada 2017 dan 16 paslon di Pilkada 2018. Dan naik lagi jadi 25 paslon pada Pilkada serentak terakhir tahun 2020 silam.

Menariknya (atau konyolnya?), di sepanjang hampir satu dekade ini tidak ada upaya politik yang kongkrit dan langkah hukum yang mengikat, baik dari parlemen dan pemerintah, maupun dari partai politik untuk mencegah pertumbuhan gejala elektoral yang tidak sehat ini. Kecuali sekedar warning akademik dan catatan-catatan kritis dari kalangan akademisi dan masyarakat sipil perihal tak sehatnya Pilkada yang digelar dengan calon tunggal, yang kemudian dianggap angin lalu saja. Dan putusan MK Nomor 60 yang dalam kasus ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh partai-partai politik.

Faktor Penyebab

Kehadiran kotak kosong sebagai peserta Pilkada mengisyaratkan ada gejala politik yang tidak sehat dalam sistem kepartaian kita, khususnya terkait proses demokrasi elektoral di tingkak lokal (Pilkada).

Dalam konteks ini partai-partai gagal menjalankan salah satu fungsi dasarnya sebagai sarana rekruitmen kepemimpinan politik yang demokratis di semua tingkatan pemerintahan demokrasi.

Sebagaimana pernah diulas dalam beberapa tulisan saya sebelumnya, salah satu faktor yang memicu kemunculan Kotak Kosong adalah bersitemali dengan isu semakin menguatnya fenomena politik kartel dalam perhelatan Pilkada atau bahkan dalam lanskap kepolitikan nasional pada umumnya.

Premis dasar politik kartel adalah bahwa partai-partai sesungguhnya tidak bersaing satu sama lain, melainkan berkolusi untuk melindungi kepentingan kolektif mereka dan memastikan partainya tetap memiliki akses terhadap ruang pemanfaatan kekuasaan.

Dalam konteks Pilkada, gejala politik kartel muncul sebagai akibat dari minusnya kepercayaan diri partai-partai politik untuk memajukan kader-kadernya ke arena konstestasi karena adanya kekuatan politik hegemonik di daerahnya yang sukar dilawan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline