Lihat ke Halaman Asli

Agus Sutisna

TERVERIFIKASI

Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

"Coblos Semua" Bukan Cara Efektif Melawan Dominasi Kekuasaan

Diperbarui: 4 September 2024   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Calon Gubernur DKI Jakarta 2024, Pramono Anung (Kiri), RIdwan Kamil (Tengah) dan Dharma Pongrekun (Kanan). | tribunnews.com

Fenomena menarik berkembang di ruang publik pasca gagalnya Anies Baswedan maju di Pilgub Jakarta dan Jawa Barat. Yakni niat dan saling mengajak di antara sesama netizen untuk mencoblos semua pasangan calon.

Dalam konteks Pilgub Jakarta niat dan saling mengajak "coblos semua" di antara sesama pemilih ini lahir dari kekecewaan masif yang dipicu oleh gagalnya Anies maju di satu sisi, sekaligus munculnya figur Pramono Anung di sisi lain, yang dianggap bukan sosok yang dikehendaki warga Jakarta.  

Bagi para pendukung fanatik Anies yang berharap PDIP mau mengusungnya di Pilgub Jakarta, fakta gagalnya Anies dan munculnya Pramono sama sekali tidak bisa dimaklumi. Bagi mereka Anies adalah keniscayaan buat Jakarta. Mereka lupa, bahwa otoritas pengusungan ada di tangan elit partai, bukan di Ketua Ormas atau paguyuban warga.  

Sementara bagi warga Jakarta yang menghendaki adanya perlawanan terhadap dominasi KIM Plus tetapi bukan massa fanatik Anies, kegagalan Anies bisa dimaklumi karena berbagai alasan. Bagi mereka, keniscayaan bukan ada pada sosok Aniesnya. Melainkan pada ide dan semangat perlawanan atas hegemoni kelompok politik yang saat ini sedang berada di atas angin kekuasaan.

Maka Anies boleh gagal, tetapi sosok alternatifnya haruslah merupakan bagian dari ikon perlawanan yang lebih kurang harus setara dan serupa Anies. Sosok ikonik perlawanan yang setara dan serupa Anies ini adalah Ahok. Bukan Pramono Anung. Perihal figur Rano sebagai Cawagub pendampingnya nyaris tidak banyak dipersoalkan oleh warga Jakarta. Bang Doel silahkan maju, tapi pendampingnya haruslah di antara Anies dan Ahok.

Sayangnya, lagi-lagi mereka lupa, bahwa otoritas dan keputusan final pengusungan ada di tangan elit partai, bukan di tangan Ketua Ormas atau paguyuban warga, apalagi berdasarkan mimpinya Babeh Sabeni.

Kembali ke isu "coblos semua." Saya membaca niat dan ajakan "coblos semua" paslon di Pilgub Jakarta itu berasal dari dua kelompok warga Jakarta (dan mendapat sokongan publik luar Jakarta yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap elit-elit partai) tersebut. Yakni pendukung fanatik Anies dan pendukung militan ide perlawanan.

Tidak Berguna, Tidak Efektif 

"Coblos semua." Artinya para pemilih datang ke TPS pada hari dan tanggal pemungutan suara. Tetapi dengan sadar semua gambar paslon pada lembar surat suara itu dicoblos. Cara mencoblos yang demikian akibatnya fatal, karena coblosan termasuk dalam kategori surat suara tidak sah lantaran mencoblos lebih dari satu kali pada gambar paslon yang berbeda.

Jika kampanye "coblos semua" itu berhasil pada waktunya nanti bisa dipastikan akan sangat banyak surat suara yang tidak sah. Tetapi sebagai bentuk artikulasi perlawanan, perilaku "coblos semua" sesungguhnya bukan cara yang efektif sekurang-kurangnya karena dua alasan berikut.

Pertama, surat suara tidak sah tetap dihitung sebagai bentuk partisipasi pemilih. Karena surat suara itu terbukti diberikan kepada pemilih yang datang ke TPS dan digunakan meski dengan cara yang salah. Jadi ukuran partisipasi pemilih bukan sah atau tidak sahnya surat suara, melainkan datang dan memberikan suara atau tidak memberikan suara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline