Lihat ke Halaman Asli

Agus Sutisna

TERVERIFIKASI

Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Melepas Anies, PDIP Memperkecil Peluang Menciptakan Keseimbangan Politik

Diperbarui: 28 Agustus 2024   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Rano Karno mendaftarkan diri di kantor KPU DKI, Salemba Raya, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2024). (Tribunnews/JEPRIMA)

Mengapa banyak orang berharap PDIP mengusung Anies di Pilgub Jakarta? 

Harapan ini bahkan datang dari segmen masyarakat yang pernah menjadi haters PDIP di sepanjang pemerintahan Jokowi-Ma'ruf yang diusung dan terus dibelanya habis-habisan hampir sepuluh tahun. Mereka tidak ragu, dan merasa tak harus malu "memohon" PDIP mengusung Anies. Mengapa?

Harapan juga berasal dari kelompok masyarakat yang secara politik bebas afiliasi. Mereka adalah kalangan civil society dan intelektual di berbagai sentra kecendekiawanan: kampus, ormas dan organisasi pegiat demokrasi. Tentu saja dengan cara yang berbeda, tak harus terbuka dan vulgar, tapi cukup dengan membaca pikiran dan pernyataan-pernyataan mereka di ruang publik. Mengapa mereka berharap demikian?

Karena hanya dengan mengusung Anies Baswedan lah, peluang PDIP untuk menegaskan diri sebagai partai yang konsisten menjaga konstitusi, merawat demokrasi, dan melawan hegemoni kekuasaan yang cenderung banal menjadi terbuka. Setidaknya lebih terbuka dibandingkan dengan misalnya mengusung Pramono atau bahkan Ahok sekalipun.

Secara kuantitatif peluang terbuka itu terbaca jelas dari hasil sigi berbagai lembaga survei yang selalu menempatkan Anies pada posisi teratas. Dan berdasarkan angka-angka elektabilitas hasil sigi ini pula, PKS, PKB dan Nasdem pagi-pagi sudah menyatakan kesiapannya mengusung Anies. PKS bahkan sempat mengeluarkan rekomendasi, sebelum kemudian mencabut dan mengalihkannya kepada Ridwan Kamil-Suswono.

Kemudian secara kualitatif peluang itu bisa dibaca dengan mudah beralaskan modal kecukupan literasi elektoral dan ketajaman nalar waras bahwa Anies memiliki potensi suara yang besar di Jakarta. Sebagai simpul kekuatan politik elektoral, Anies memiliki konstituennya sendiri. Ia memang bukan partai, bukan pula elit partai. Tapi Anies memiliki basis massa yang bisa dibilang sampai batas tertentu "setara" dengan basis massa partai.

Konstituen atau basis massa itu adalah warga Jakarta yang tidak memiliki afiliasi politik dengan partai manapun. Mereka adalah floating mass yang menginginkan sosok ideal setelah kehilangan kepercayaan terhadap integritas partai politik sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasinya. Sosok itu mereka temukan pada figur Anies Baswedan.

Konstituen Anies berikutnya adalah para pemilih, simpatisan bahkan kader-kader akar rumput PKS, PKB dan Nasdem di Jakarta yang pada waktu Pilpres memberikan suara untuk Anies-Cak Imin. Mereka adalah para pemilih yang potensial melakukan split-ticket voting di Pilgub nanti, yakni memilih figur paslon yang bukan pilihan partainya.

Meski mungkin tidak terlalu besar, pemilih Anies juga ada di akar rumput PDIP Jakarta, dan warga Jakarta yang cenderung a-politis tapi kemudian "terpapar" virus perubahan yang melekat pada sosok Anies Baswedan.

Berdasarkan kalkulasi elektoral itu, maka dengan mengusung Anies (dan tentu saja didampingi kader internalnya sendiri), PDIP memiliki peluang besar memenangi kontestasi Pilgub Jakarta. Dan dengan kemenangan ini, sekali lagi, PDIP (bersama Anies) sama-sama memiliki kesempatan besar untuk menegaskan diri sebagai partai dan pihak yang konsisten menjaga konstitusi, merawat demokrasi, dan melawan hegemoni kekuasaan yang cenderung banal akhir-akhir ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline