Meski sebagai penanda waktu semua hari adalah sama, tetapi bagi umat Islam Jum'at adalah hari yang istimewa. Para ulama menyebutnya dengan istilah "Sayyidul Ayyam", penghulunya atau tuannya hari-hari. Penyebutan ini didasarkan pada sabda Rosulullah SAW dalam sebuah sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah :
"Sungguh, hari Jumat adalah tuannya hari-hari dan yang paling agung di sisi Allah."
Dengan substansi yang lebih lengkap, dalam hadits lain Imam Syafi'i dan Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Sa'ad bin 'Ubadah :
"Rajanya hari di sisi Allah adalah hari Jumat. Ia lebih agung dari pada hari raya kurban dan hari raya Fithri. Di dalam Jumat terdapat lima keutamaan. Pada hari Jumat Allah menciptakan Nabi Adam dan mengeluarkannya dari surga ke bumi. Pada hari Jumat pula Nabi Adam wafat. Di dalam hari Jumat terdapat waktu yang tiada seorang hamba meminta sesuatu di dalamnya kecuali Allah mengabulkan permintaannya, selama tidak meminta dosa atau memutus tali shilaturrahim. Hari kiamat juga terjadi di hari Jumat. Tiada Malaikat yang didekatkan di sisi Allah, langit, bumi, angin, gunung dan batu kecuali ia khawatir terjadinya kiamat saat hari Jumat."
Pada hari Jumat pula secara khusus Allah memerintahkan umat Islam melaksanakan Sholat Jum'at, yang berbeda dengan sholat lima waktu dan sholat-sholat lainnya, serta hanya dilakukan pada hari Jum'at di waktu Sholat Dzuhur.
Kewajiban sholat Jumat itu tertuang dalam Al Quran surat Al Jumah ayat 9: "Hai orang yang beriman, apabila diseru untuk melaksanakan shalat pada hari jumat, maka bersegeralah kamu dalam mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".
Mengubah Hedonisme dengan Spiritualisme
Sebelum Nabi Muhammad datang sebagai Rosulullah, masyarakat Arab jahiliyah mengenal nama-nama hari dalam sepekan dengan istilah Awwal (Ahad, Minggu), Ahwan (Senin), Jubar (Selasa), Dubar (Rabu), Mu'nis (Kamis), 'Arubah (Jum'at) dan Syiyar (Sabtu).
Dalam traidisi Arab jahiliyah "Arubah" sebagai nama untuk hari keenam (Jum'at) merupakan momentum dimana masyarakat mengumbar hedonisme dan kebanggaan-kebanggaan materialistik. Pada momentum ini orang-orang kaya memamerkan segala bentuk kekayaannya berupa perhiasan, makan minum, dan pestapora. Bersama para penyair dan tukang sihir yang mengekspresikan karya-karyanya bernuansa hedonis dan materialis serta temuan-temuan dan perkembangan ilmu sihirnya.
Rosulullah SAW kemudian memperbarui nama-nama hari itu dengan nuansa numerikal menjadi : Ahad (hari pertama), Isnain (hari kedua), Tsulatsa (hari ketiga), Arbi'a (hari keempat), Khamis (hari kelima), Sabt (hari ketujuh). Sementara untuk hari keenam, yang semula Arubah diganti dengan Jum'ah, Jumu'ah atau Jama'ah.
Merujuk pada Kamus Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Ma'ashir (Ruhul al-Ma'ani, Mu'jam), kata Jum'ah, Jumu'ah atau Jama'ah artinya berkumpul. Dan secara terminologis, maksudnya tidak lain menunjuk pada peristiwa berkumpulnya umat Islam untuk melaksanakan sholat Jum'at berjamaah sebagaimana perintah Allah dalam QS Al Jum'ah ayat 9 diatas tadi.
Tetapi sebagian ulama menambahkan penjelasan makna terminologis-historis kata itu adalah saat pertama kalinya Adam dan Siti Hawa dipertemukan di surga sekaligus saat bertemunya kembali mereka di Jabal Rahmah (Mekah, Arab Saudi) setelah diturunkan ke dunia karena melanggar larangan Allah di surge.
Penggantian nama Arubah dengan Jum'ah untuk hari keenam dalam sepekan itu tentu tidak sekedar mengubah atau mengganti nama. Melainkan mengubah kebiasaan dan tradisi jahiliyah bangsa Arab yang hedonis dan materialistik kala itu dengan nilai-nilai spiritual yang selaras dengan ajaran Islam.