Lihat ke Halaman Asli

Agus Sutisna

TERVERIFIKASI

Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

"Kuliah Tersier", Blunder yang Perlu Dikoreksi

Diperbarui: 20 Mei 2024   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie di di Kantor Kemendikbud Ristek, Jakarta Selatan, Rabu (15/5/2024). (KOMPAS.com/SANIAMASHABI)

Kuliah memang tersier, tidak setara dengan sandang, pangan dan papan. Bahkan juga masih berada di bawah level kebutuhan lain yang bersifat sekunder seperti kendaraan pribadi, perabotan rumah tangga dll.

Kuliah adalah sejenis kemewahan yang tidak mungkin bisa ditempuh oleh semua warga negara yang secara sosial ekonomi tersebar ke dalam stratifikasi yang sangat beragam dan terbelah kedalam ruang-ruang kesenjangan.

Dan satu lagi, faktanya tidak semua anak lulusan sekolah menengah juga memiliki minat dan semangat yang sama untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, entah vokasi atau sarjana, dengan berbagai alasan.

Tapi soalnya bukan di situ. Ini adalah ranah pendidikan, jalan utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kualitas, membangun kecakapan serta meng-upgrade daya saing sumber daya manusia. Bukan soal kategorisasi prioritas kebutuhan.

Frasa "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai visi abadi nasional di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang diletakan rumusannya oleh pendiri bangsa pada posisi ketiga juga tidak bisa dimaknai bahwa capaiannya bersifat opsional sesuai urutan pencantuman.

Keempat butir visi abadi atau cita-cita nasional itu adalah satu kesatuan utuh yang ikhtiar untuk mewujudkannya harus dilakukan secara simultan, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Oleh sebab itu pernyataan pejabat Kemendikbud yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi itu tidak wajib dan hanya bersifat tertiary education perlu dikoreksi dan diluruskan.

Pernyataan blunder ini dikemukakan oleh Tjitjik Tjahjandarie, Plt Sekretaris Jenderal Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, saat merespons mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Menyurutkan Semangat, Melukai Perasaan

Tjitjik memang punya alasan normatif ketika mengungkapkan pernyataan itu. Dia gunakan argumen bahwa kuliah atau pendidikan tinggi tidak termasuk ke dalam program wajib belajar 12 tahun. Tetapi ia nampaknya lupa, bahwa 12 tahun masa wajib belajar itu adalah batas minimal kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah.

Ketika kesadaran pendidikan anak-anak bangsa meningkat, khususnya kalangan generasi muda. Dan semangat mereka untuk menempuhnya tumbuh pesat pemerintah mestinya berbangga hati dan merespons fenomena ini dengan bijak. Bukan justru meredamnya dengan pernyataan blunder bahwa kuliah itu kebutuhan tersier, tidak wajib. Sekali lagi, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat konstitusi yang wajib ditunaikan oleh negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline