Highlight
Secara teoritik perhelatan Pilkada langsung adalah tuntutan yang tidak bisa dihihdari dalam kerangka mengonsolidasikan demokrasi substantif di aras lokal.
Model pemilihan popular vote ini menjadi mekanisme kongkrit dalam mewujudkan hakikat demokrasi sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Melalui Pilkada langsung rakyat sebagai pemilik suara dan kedaulatan mengartikulasikan pilihan politiknya dengan tidak mewakilkannya lagi kepada anggota DPRD. Suatu mekanisme jadul yang kerap mendistorsi dan mereduksi suara-suara rakyat.
Namun dalam praktiknya, berbagai gejala distorsif hampir selalu terjadi dalam setiap perhelatan Pilkada di berbagai daerah. Gejala-gejala distorsif ini menjadi sisi gelap dari jalan terang menuju demokrasi yang sesungguhnya yang disediakan oleh Pilkada langsung.
Di antara gejala-gejala distorsif itu adalah praktik Mahar Politik dan Politik Uang yang lazim terjadi sepanjang fase kandidasi, kampanye, masa tenang, serta pemungutan dan penghitungan suara. Dan fenomena Politik Dinasti, Roving Bandits, dan Shadow State yang kerap terjadi pasca Pilkada digelar dan Paslon terpilih dilantik.
Khusus terkait isu Dinasti Politik. Temuan banyak riset di berbagai daerah, gejala ini biasanya bahkan sudah berlangsung di fase pra-kandidasi hingga Pilkada usai, dan pemerintahan daerah baru terbentuk. Lalu berlanjut secara siklis dari periode ke periode Pilkada dan pemerintahan berikutnya.
Potensi Terulangnya Kembali Berbagai Distorsi
Tahapan dan jadwal Pilkada serentak 2024 sudah dilaunching oleh KPU RI akhir Maret lalu. Pertanyaan krusial saat ini, mungkinkah berbagai gejala distorsif sebagaimana telah dibahas pada tiga artikel sebelumnya masih akan terulang kembali pada Pilkada serentak 2024 dan setelahnya?
Tanpa bermaksud menyebar virus pesimisme politik, potensi terjadinya kembali distorsi demokrasi elektoral itu jelas sangat terbuka. Terutama berkenaan dengan isu mahar politik, politik uang dan revivalisme politik dinasti. Ketiga isu ini tidak akan mudah dihalangi kemunculannya karena beberapa argument berikut.
Pertama, watak pragmatis dan oportunis elit partai politik yang semakin mengeras. Kita tahu, proses kandidasi Pilkada sangat didominasi oleh kewenangan dan peran sentral partai politik.
Para elit partailah yang akhirnya bakal menentukan figur-figur calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Baik di Provinsi maupun Kabupaten dan Kota. Dan pertimbangan kunci proses seleksi kandidasi itu adalah seberapa besar kesanggupan para bakal calon menyediakan political cost.