Pada artikel kedua serial "Menelisik Ulang Pilkada Langsung" kemarin telah diulas dua sisi gelap yang selalu muncul dalam perhelatan Pilkada Langsung, yakni Mahar Politik dan Politik Uang yang masif terjadi di sebagian besar, jika tidak di semua daerah.
Berikut ini akan dibahas tiga fenomena lain yang menggenapi praktik gelap Pilkada Langsung, yang hingga Pilkada serentak gelombang keempat tahun 2020 lalu masih terjadi di sejumlah daerah. Ketiga fenomena itu revivalisme Politik Dinasti, praktik Roving Bandits, dan gejala Shadow State. Pembahasan didasarkan pada hasil sejumlah riset para ilmuwan politik kotemporer.
Revivalisme Dinasti Politik
Dinasti politik, secara umum dimaknai sebagai model kekuasaan yang didominasi oleh satu keluarga dan atau kerabat, yang dibangun melalui mekanisme dan strategi tertentu yang memungkinkan terjadinya proses pewarisan kekuasaan berlangsung secara turun temurun atau berputar-putar di lingkungan keluarga atau kerabat.
Pablo Querubin (2010) mendefinisikan dinasti politik sebagai sejumlah kecil keluarga yang mendominasi distribusi kekuasaan dalam area geografis tertentu. Mark Thompson (2012) menjelaskan dinasti politik hanya sebagai jenis lain dari transisi (peralihan) kekuasaan politik, langsung maupun tidak langsung, yang melibatkan anggota keluarga.
Kedua definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dirumuskan Yasushi Asako dkk (2012), yang mendefinisikan dinasti politik secara sederhana sebagai sekelompok politisi yang mewarisi jabatan publik dari salah satu anggota keluarga mereka.
Kebangkitan (revivalisme) dinasti politik, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hasil studi yang dilakukan para ahli di berbagai negara memang memiliki hubungan sangat erat dengan kepentingan keluarga atau politik kekerabatan. Kepentingan keluarga kerap, jika tidak selalu, menjadi basis muasal pertumbuhan, perkembangan dan perluasan dinasti politik dalam suatu sistim politik demokrasi.
Dalam tradisi politik kekerabatan, anggota keluarga yang sudah menjadi penguasa atau menduduki jabatan publik pada umumnya akan melakukan praktik nepotisme dengan memberikan berbagai perlakuan istimewa kepada anggota keluarga atau kerabatnya. Bukan untuk mensejahterakan rakyat dan memajukan daerahnya, melainkan dalam rangka membangun dan memperkuat jejaring kekuasannya. Dari sinilah kemudian embrio dinasti politik itu muncul.
Dalam studi Eisenstadt dan Roniger (1984) dikemukakan, bahwa pemberian prioritas kepada anggota keluarga dan kerabat dalam kehidupan politik itu didasarkan pada 4 (empat) argumentasi subyektif.
Pertama Kepercayaan (trusty). Maksudnya bahwa keluarga atau kerabat lebih dapat dipercaya dan tidak mungkin berkhianat seperti yang lazim dilakukan politisi pemburu kekuasaan. Kedua Kesetiaan (loyality). Bahwa kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain.
Ketiga Solidaritas (solidarity). Artinya kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong klan keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat Proteksi (protection). Hal ini terkait dengan kepentingan mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari klan yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.