Dalam kehidupan keseharian kerap ditemukan fakta anomali yang terjadi atau dialami oleh seseorang. Mungkin kerabat, tetangga atau kolega. Ia hidup serba kecukupan, bahkan melimpah ruah secara materi. Jika ia seorang profesional, karirnya moncer. Jika pebisnis, usahanya berkembang pesat. Jika politisi, kekuasaan dan pengaruhnya amat hegemonik. Padahal ia adalah pelaku segala jenis maksiat. Perintah agamanya ditinggalkan, larangan-larangannya ditabrak setiap waktu.
Parahnya situasi demikian tidak dirasakannya sebagai anomali. Ia tidak pernah curiga dengan berbagai keberlimpahan dan kenikmatan materil yang diraihnya sementara saban hari dirinya berbuat maksiat. Baik maksiat bathin seperti takabur, iri dengki, dan hasad, juga maksiat lahir semisal memfitnah, korupsi, dan berdusta.
Makna dan Hakikat Istidraj
Dalam Islam gejala serupa itu disebut Istidraj. Berasal dari kata Daraja, At-tadrij yang berarti setingkat demi setingkat atau setahap demi setahap (berangsur-angsur).
Di dalam Al Quran kata Istidraj ditemukan dalam beberapa surat dan ayat. Diantaranya dalam surat Al 'Araf: 182: "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui."
Dan surat Al Qolam ayat 44: "Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui." Kemudian didalam Hadits Nabi SAW, fenomena istidraj antara lain dikemukakan oleh Uqbah bin Amir :
"Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah." (HR. Imam Ahmad).
Berdasarkan landasan syar'i itu, para ulama kemudian menjelaskan Istidraj sebagai nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang yang mengingkari-Nya (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Jami' li Ahkami al-Qur'an).
Setiap kali mereka melakukan maksiat, Allah berikan kenikmatan secara langsung dan berkesinambungan hingga mereka mengira bahwa berbagai kenikmatan itu adalah anugrah. Padahal sejatinya semua itu adalah "tipu daya", jebakan atau pembiaran yang Allah lakukan untuk mereka karena kemunkaran dan kemaksiatan yang mereka perbuat tanpa segera menyadarinya.
Oleh sebab itu jika merujuk pada pandangan Imam Qusyairi dalam kitabnya Lathaif al- Isyarat: Tafsir Sufi Kamil li al-Qur'an al-Karim, istidraj pada hakekatnya merupakan cara Allah mendekatkan para pelaku maksiat, para pendosa yang mengingkari perintah dan melanggar larangan-laranganNya dengan hukuman tanpa mereka sadari karena yang mereka rasakan adalah justru limpahan kenikmatan.
Ciri-ciri Istidraj
Dari beberapa rujukan syar'i diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum penanda seseorang sedang terjerumus dalam istidraj Allah adalah ia hidup dalam keberlimpahan harta dan kekayaan, kesehatan fisik, kesuskesan karir, kekuasaan dan jabatan, sementara di saat yang sama ia juga melakukan berbagai jenis maksiat dan kemunkaran. Secara spesifik, beberapa ciri itu antara lain berikut ini.
Pertama, lalai terhadap segala perintah Allah dan sering melanggar larangan-laranganNya namun hidup kesehariannya nampak normal bahkan terkesan tenang, nyaman dan bahagia.