Lihat ke Halaman Asli

Agus Sutisna

TERVERIFIKASI

Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Fatwa MUI tentang Pemilu, Syarat Pemimpin, dan Golput

Diperbarui: 1 Februari 2024   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                   www.cnbcindonesia.com

Tersisa dua pekan lagi dari sekarang, bangsa Indonesia akan memilih para pemimpin baik di lembaga eksekutif maupun legislatif (Pilpres dan Pileg). Dalam konstruksi hukum Pemilu, memilih merupakan hak, bukan kewajiban. Sebagai hak, ia bisa digunakan, bisa juga tidak digunakan. Tidak ada larangan dan karenanya juga tidak ada sanksi bagi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya oleh sebab satu dan lain alasan.

Tetapi bagi umat Islam (Indonesia), memilih merupakan salah satu kewajiban (sosial kebangsaan) sebagaimana hasil 'Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diputuskan di Padang Sumatera Barat, Januari 2009 silam. Fatwa MUI ini kemudian lebih populer dikenal sebagai fatwa tentang larangan Golput dalam Pemilu, anggapan yang kurang tepat sebetulnya sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.

Latar Belakang

Jika ditelusuri kembali latar belakang sejarahnya, fatwa tersebut sebetulnya memang tidak secara spesifik mengatur soal larangan Golput. Istilah Golput-nya sendiri bahkan sama sekali tidak disebutkan di dalam 5 (lima) diktum fatwanya.

Hanya saja, fatwa ini memang lahir dari latar belakang maraknya kembali potensi Golput khususnya menjelang Pemilu 2009 silam. Dan sebagaimana kaidah yang digunakan MUI, suatu fatwa biasanya terbit karena adanya permintaan dari pihak luar, dalam hal ini terutama umat Islam yang berkepentingan terhadap suatu perkara dalam masyarakat.

Ketika itu, beberapa pihak, diantaranya para tokoh masyarakat dan partai politik meminta pendapat MUI terkait fenomena Golput yang cenderung membesar angkanya baik dalam Pemilu maupun Pilkada, dan secara khusus sebagai antisipasi menjelang Pemilu 2009. Salah satunya adalah Hidayat Nur Wahid yang kala itu menjabat sebagai Ketua MPR RI.

Sebagaimana dijelaskan oleh KH. Ma'ruf Amin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI, bahwa: "Fatwa ini muncul karena ada permintaan dari masyarakat. Fatwa MUI untuk menghadapi pro-kontra golongan putih. Namun, kami tidak masuk dalam istilah Golput, tapi masuk pada istilah memilih pemimpin dan tidak memilih pemimpin. Ini lebih memiliki landasan kuat. Dalam rangka akhdzul imamah, dengan fatwa ini kita kasih tuntutan memilih pemimpin muslim," (Gufron, Fatwa Penggunaan Hak Pilih Dalam Pemilu, Skripsi 2009).

Substansi Fatwa

Secara substantif, Fatwa MUI dimaksud berisi 5 (lima) poin kaidah yang harus dipatuhi sebagai guidance umat Islam dalam memilih pemimpin. Berikut kelima poin tersebut :

Pertama, Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline