Lihat ke Halaman Asli

Agus Sutisna

TERVERIFIKASI

Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Mencari Pemimpin Profetik di Tengah Tebaran Baliho

Diperbarui: 27 Januari 2024   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.melawinews.com

Hampir setiap hari orang-orang sebetulnya "celingukan" seperti Gibran saat Debat Kedua Cawapres tempo hari. Menaruh tangan di atas pelipis dengan posisi badan sedikit membungkuk, lalu sorot matanya fokus ke depan mencari sesuatu. Orang-orang sedang mencari siapa bakal calon anggota legislatif yang pantas diberikan amanah. Tapi belum ketemu, kecuali wajah-wajah yang terpoles di tebaran baliho!

Itulah situasi yang sedang berlangsung saat ini. Tidak mudah memang mencari figur-figur yang layak (cakap) dan patut (pantas) untuk diberikan mandat mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan serta memperjuangkan aspirasi publik. Kelayakan/kecakapan berhubungan dengan kapasitas dan kompetensi. Kepatutan/kepantasan berhubungan dengan karakter moral atau etik.

Situasi tidak mudah itu tentu saja terbangun di atas asumsi bahwa para pemilih sudah literate secara politik, serta cerdas dan rasional sebagai pemilih. Tetapi jika bangunan asumsi yang digunakan adalah kebalikannya, maka mencari figur-figur yang bisa dipilih pasti mudah, sangat mudah bahkan. Lihat saja tebaran APKnya, ketahui mereka anak siapa, atau ingat-ingat siapa diantara mereka yang pernah memberi kaos, bingkisan atau amplop berisi uang. Coblos yang demikian, perkara selesai.

Namun, benarkah perkara jadi selesai? Soal memilih tentu selesai. Karena siapapun yang dipilih, dan apapun yang menjadi dasar pertimbangan memilih, setelah tanggal 14 Februari 2024, pesta raya demokrasi untuk memilih wakil rakyat berakhir.

Tetapi tidak demikian dengan implikasi pilihan. Ia akan berdampak panjang, setidaknya dalam lima tahun kedepan. Implikasi itu akan terasa dan nyata ketika kehidupan bermasyarakat dan bernegara kembali pada situasi normal keseharian.

Caleg-caleg terpilih, yang dipilih bukan karena keunggulan kapasitas, kompetensi, dan moralitas-etiknya, potensial tidak akan mampu mengemban amanah, memperjuangkan aspirasi rakyat, dan memajukan bahkan minimal daerah pemilihannya. Lebih dari itu, mereka bahkan bisa menjadi beban baru negara, beban baru demokrasi.

Kriteria Profetik

Bertolak dari kesadaran pentingnya memiliki para anggota legislatif yang ideal, yang dapat memperjuangankan aspirasi rakyat yang telah memberinya mandat sekaligus memajukan daerah pemilihan darimana mereka berangkat itulah, para ahli dan bijak kemudian bicara soal kriteria.

Di antara berbagai perspektif dan pendekatan, para alim dan cendekiawan Muslim sudah lama mempromosikan konsep Kriteria Profetik dalam memilih pemimpin.

Profetik berasal dari kata "prophet", Nabi. Di Indonesia istilah Profetik pertama kali digunakan oleh Kuntowijoyo (1991) dalam konteks diskursus seputar ilmu sosial transformatif yang ia sebut sebagai ilmu sosial profetik. Istilah ini kemudian berkembang dan melahirkan konsep Kepemimpinan Profetik. Adz-Dzakyaey menjelaskan makna  Kepemimpinan Profetik sebagai kemampuan seseorang unuk mempengaruhi orang lain mencapai tujuan sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi dan rosul (Munardji, 2016).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline