Lihat ke Halaman Asli

Agus Sutisna

TERVERIFIKASI

Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Pemilu 2024 dalam Sindrom Transisi Demokrasi

Diperbarui: 5 Desember 2023   04:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pemilu. (Dok Shutterstock via Kompas.com)

Pada bagian akhir bukunya yang populer, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991), Samuel P. Huntington menulis, bahwa selama satu setengah abad setelah pengamatan Tocqueville mengenai munculnya demokrasi modern di Amerika, gelombang-gelombang demokratisasi silih berganti melanda pantai kediktatoran. 

Disangga oleh pasang naik kemajuan ekonomi, masing-masing gelombang bergerak maju lebih jauh dan mundur lebih sedikit daripada gelombang sebelumnya.

Narasi tersebut menjelaskan bahwa kehadiran dan perkembangan demokrasi dalam ruang sejarah transisi perjalanan politik di berbagai negara tidaklah berlangsung dalam pola garis lurus. Melainkan, ibarat sebuah rute perjalanan, ia berliku, bahkan kerap harus melewati jalanan serba terjal yang membahayakan.

Sindrom Transisi Demokrasi

Studi Guillermo O'Donnell, dkk (1986) misalnya menjelaskan, bahwa transisi demokrasi, fase peralihan dari era rezim otoriter ke pemerintahan demokratis menyimpan peluang surutnya kembali proses demokratisasi ke bentuk otoritarianisme baru (neo-otoritarianisme) yang disebutnya dengan istilah democraduras dan dictablandas.

Gejala Democraduras disematkan O'Donnell pada rezim yang dibentuk dan dihasilkan melalui proses pemilihan umum sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi namun dengan menciptakan alienasi publik dari kekuasaan. Tak pelak lagi, ini merupakan gejala pemerintahan yang buruk karena mengandalkan sarana pemilu sekadar untuk mendapatkan dukungan rakyat.

Demokrasi yang sesungguhnya, yang seharusnya menyertakan rakyat secara inklusif dan partisipatif dalam setiap proses-proses politik tidaklah menjadi prioritas. Namun begitu, O'Donnell menganggap Democraduras masih dapat dikategorikan sebagai rezim demokratis.

Fenomena yang lebih buruk dan jauh dari demokratis adalah rezim Dictablandas. Sama dengan rezim Democaduras, rezim Dictablandas juga menggunakan pemilu sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi rakyat. Namun diselenggarakan dengan pelbagai pembatasan politik, kecurangan-kecurangan terstruktur dan sistemik, serta cacat prosedur disana-sini.

Sementara itu, jauh sebelum O'Donnell dkk memetakan potensi terjadinya rekonsolidasi kekuatan-kekuatan otoritarianisme, Dankwart A. Rustow menggunakan 3 (tiga) diksi menarik dalam menjelaskan proses transisi demokrasi, yakni: battle, stalemate, dan habituation phase. 

Diungkapkan dalam artikel berjudul "Transitions to Democracy: Toward a Dynamic Model" (Jurnal Comparative Politics, April 1970), Rustow menguraikan masa transisi menuju demokrasi yang diwarnai dengan the battle, pertarungan atau perseteruan antara pendukung demokrasi dengan para pembela status quo. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline