Memasuki fase-fase elektoral yang semakin krusial dimana tensi kontestasi politik yang potensial memicu polarisasi (pembelahan) soaial kian panas, bangsa Indonesia khususnya umat Islam kiranya perlu membaca dan merefeksikan ulang sebuah dokumen historical dalam lanskap sejarah peradaban Islam, yakni Piagam Madinah.
Piagam Madinah merupakan salah satu capaian sekaligus menjadi legacy paling monumental dari sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW pasca Hijrah dari Mekkah ke Madinah. Ia adalah naskah yang dibuat oleh beliau dan disepakati para penduduk Madinah (Muslim, Yahudi, Nasrani dan penganut Politheisme), yang isinya merupakan pengaturan kehidupan bersama masyarakat Daulah Madaniyah.
Sebagaimana sudah banyak ditulis para sejarawan termasuk para orientalis, pada waktu Nabi Muhammad dan para sahabatnya datang ke Madinah (kala itu masih bernama Yatsrib, sekitar tahun 622 Masehi), secara sosio-politik penduduk Madinah berada dalam situasi konflik, siklis dan berkepanjangan.
Seperti diungkapkan antara lain oleh Montgomery Watt dalam bukunya Muhammad Prophet and Statesman (1969), konflik ini terjadi, baik antara qabalah-qabilah (suku) dari bangsa Yahudi dengan qabilah-qabilah dari bangsa Arab, maupun secara internal di dalam bangsa Yahudi dan Arab sendiri. Puncak konflik terjadi dalam peristiwa Perang Bu'ats yang memberi kemenangan pada Bani Aus (Arab) bersama sekutunya Bani Nadhir (Yahudi).
Masih dalam buku Montgomery Watt diceritakan, kala itu bangsa Arab terdiri dari 6 suku, dua diantaranya yang paling besar adalah Bani Aus dan Bani Khajraz. Sementara bangsa Yahudi memiliki lebih dari 20 suku, yang paling utama adalah Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa (Barakat Ahmad, Muhammad and The Jew, 1979). Selain bangsa Yahudi yang menganut ajaran Monotheisme dan Arab penganut Politheisme (Paganisme, penyembah berhala) kala itu, sebagian kecil penduduk Madinah dari bangsa Arab (Bani Aus dan Khajraz) juga ada yang beragama Nasrani.
Naskah Piagam Madinah, atau dikenal juga dengan istilah Mitsaq al-Madinah atau Dustur al-Madinah atau The Constitution of Medina (Hamzani dan Aarvick, 2021) dirumuskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kapasitas sebagai kepala negara Daulah Madaniyah. Naskah ini kemudian ditawarkan kepada seluruh perwakilan penduduk Madinah dari berbagai bangsa dan qabilah lalu disepakati sebagai pedoman hidup bersama.
Semangat Persatuan dan Persaudaraan
Sebelum Piagam Madinah lahir, Nabi Muhammad telah mengislahkan (mendamaikan) terlebih dahulu dua suku Arab (Aus dan Khajraz) yang telah memeluk Islam, yang sebelumnya kerap terlibat konflik sebagaimana dijelaskan di diatas. Mereka kemudian dikonsolidasikan sebagai entitas baru dan diberi nama kaum "Anshor" (para penolong).
Antony Black (Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2000) melihat peristiwa pengislahan etnik Aus dan Khajraz itu sebagai langkah cerdas dan taktis Nabi Muhammad dalam merintis dan membangun semangat persatuan (integrasi) di antara penduduk Madinah. Suatu model baru integrasi yang didasarkan pada landasan spiritual (iman) sekaligus politis (kekuasaan), yang sebelumnya didasarkan pada ikatan darah dan keturunan (ashobiyah) dan terbukti gagal mewujudkan kohesivitas, harmoni dan perdamaian di kalangan mereka.
Dengan semangat membangun dan mewujudkan integrasi di antara komunitas-komunitas penduduk Madinah itu pula, Nabi Muhammad merumuskan dan menawarkan konsep Piagam Madinah. Naskah ini diterima dan disepakati bersama oleh penduduk Madinah pada tahun pertama Nabi Muhammad memimpin masyarakat Madinah.