Lihat ke Halaman Asli

Agus Sutisna

TERVERIFIKASI

Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Urgensi Politik Kebhinekaan di Tengah Kontestasi yang Makin Kompetitif

Diperbarui: 6 Februari 2024   20:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Mural bertemakan keberagaman menghiasi sebuah gang kampung di Mlatiharjo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (21/2/2019).  (Foto: KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Pasca peresmian pasangan Prabowo-Gibran sebagai bakal Capres-Cawapres, trend persaingan untuk merebut simpati dan suara pemilih nampaknya bakal semakin kompetitif.

Gibran, terlepas dari kontroversi yang menyertai perjalanan sejarahnya naik ke posisi bakal Cawapres. Dia akan menjadi episentrum baru bagi dua poros kompetitornya dalam memitigasi potensi-potensi tantangan yang dihadapi sekaligus dalam menyiapkan strategi kampanye untuk memaksimalkan peluang-peluang kemenangan dari celah kelemahan yang ada pada pasangan Prabowo-Gibran.

Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024, kampanye Pemilu akan dimulai pada tanggal 28 November 2023. 

Dan akan berakhir satu hari menjelang masa tenang, yakni tanggal 10 Februari 2024. Total waktu yang digunakan sebanyak 75 hari. Di fase kampanye inilah  nuansa persaingan akan tampak dan terasa mengeras.

Naluri Purba Para Petarung

Pemilu pada dasarnya merupakan medan konflik, arena pertarungan dimana para petarung atau kontestan (Partai Politik dan para Calegnya, Calon DPD dan Paslon Capres-Cawapres) berebut simpati, dukungan dan ujungnya adalah suara para pemilih.

Secara naluriah, para petarung atau kontestan akan berusaha keras dengan segala macam cara yang bisa mereka lakukan untuk memenangi konstestasi. Termasuk cara-cara yang potensial melanggar norma perundang-undangan dan kaidah-kaidah universal demokrasi elektoral.

Khusus berkenaan dengan kontestasi Pilpres, bangsa ini punya pengalaman buruk pada Pemilu 2019 lalu. Kala itu arena pertarungan diwarnai dengan fenomena politisasi identitas dan stigmatisasi buruk oleh masing-masing kubu terhadap kubu lainnya sebagai cara meraih dukungan konstituen dan memenangi Pemilu.

Politisasi identitas, terutama aspek agama, etnik dan ras menjadi pilihan masing-masing kubu petarung karena isu identitas paling mudah dikapitalisasi untuk meraih keuntungan-keuntungan elektoral. 

Paling mudah pula digunakan untuk menyulut sentimen emosional para pemilih, yang dengan cara demikian pihak-pihak yang berkepentingan mudah mengontrol dan mengarahkan mereka sesuka hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline