Peluang Gibran Rakabuming mendampingi Prabowo sebagai bakal Cawapres nampaknya makin menguat dan tak terbendung. Berbagai media bahkan sudah seperti meyakini bahwa pasangan calon (Paslon) Prabowo-Gibran tinggal soal waktu untuk diumumkan secara resmi.
Dan baru saja, Rapimnas Golkar resmi menyepakati dan mengusulkan Prabowo-Gibran sebagai bakal Capres-Cawapres 2024.
Jika akhirnya kemudian benar Paslon hybrid tua-muda ini maju ke arena kontestasi Pilpres 2024, maka ini akan menjadi tonggak pertama dalam sejarah elektoral Indonesia sekaligus dalam sejarah Indonesia merdeka. Bahwa anak Presiden yang masih menjabat menjadi bakal Cawapres untuk periode kekuasaan berikutnya. Dahsyat !
Ya, dahsyat! Karena Megawati saja, anak seorang proklamator butuh waktu berpuluh tahun untuk bisa menjadi Cawapres dan kemudian Presiden. Itupun harus dilalui dengan fase "berdarah-darah" di era orde baru.
Lalu bagaimana hal ini dilihat dari sudut pandang pendidikan politik dan konsolidasi demokrasi?
Pendidikan politik tak sehat
Sekali lagi terlepas dari sosok Gibran sendiri, saya melihat ada problematika serius dalam kontestasi politik elektoral 2024 ini, khususnya dilihat dari perspektif pendidikan politik dan kepentingan menjaga demokrasi yang sudah terkonsolidasi cukup baik.
Problematika ini dipicu oleh manuver-manuver politik yang telah mengantarkan Gibran ke posisi bakal Cawapres, yang dilakukan oleh banyak aktor.
Mulai dari Jokowi dan Prabowo, dua aktor utama drama politik ini, lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan yudicial review terkait usia Capres-Cawapres, dan sudah barang tentu elit-elit partai di poros KIM dan relawan-relawan yang mengorkestrasinya.
Dari sisi pendidikan politik ada beberapa aspek tak sehat, bahkan keblinger sedang dipertontonkan kepada publik. Terutama kalangan generasi muda yang secara elektoral menjadi target segmen pemilih melalui sosok Gibran yang masih belia yang dimajukan sebagai bakal Cawapres.