Beberapa hari lalu dua partai yang semula bergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yakni Gokar dan PAN resmi mendeklarasikan dukungannya terhadap Prabowo sebagai Capres. Dengan demikian KIB praktis bubar setelah sebelumnya ditinggalkan oleh PPP yang telah merapat lebih dulu ke PDIP. Sebaliknya, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKRI) yang digagas bersama oleh Gerindra dan PKB menguat dan bertambah gemuk.
Bergabungnya Golkar dan PAN ke KKIR ini memperjelas peta kekuatan statis koalisi pencalonan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.
Koalisi Perubahan dan Persatuan/Perbaikan (KPP) yang menyiapkan Anies Baswedan sebagai Capres memiliki modal total suara sebesar 25.03%, masing-masing 9.05% (Nasdem), 8.21% (PKS), dan 7.77% (Demokrat). Koalisi bersama PDIP yang telah mendeklarasikan Ganjar sebagai Bacapres memiliki modal total suara sebesar 28.06%, masing-masing 19.33% (PDIP), 4.52% (PPP) 2.67% (Perindo) dan 1.54% (Hanura). Sementara Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) memiliki modal total suara sebesar 42.20%, masing-masing 12.57% (Gerindra), 12.31% (Golkar), 9.69% (PKB), 6.84% (PAN), dan 0.79% (PBB).
Jika peta koalisi elektoral per hari ini ajeg hingga pendaftaran Paslon Capres-Cawapres Oktober-November nanti, maka fix sudah, Pilpres 2024 bakal diikuti oleh 3 (tiga) bakal pasangan calon dengan urutan peta kekuatan statistikal masing-masing koalisi berbasis modal suara elektoralnya sebagai berikut : KKIR 42.20%, PDIP dan Koalisinya 28.06%, KPP 25.03%.
Dengan urutan demikian, maka kalkulasi statis elektoral akan menghasilkan peringkat pemenang Pilpres sebagai berikut : peringkat pertama Prabowo-KKIR, peringkat kedua Ganjar-PDIP dan Koalisinya, peringkat ketiga Anies-KPP. Oleh karena Pilpres 2024 masih menggunakan two round system (sistem dua putaran) berdasarkan UU 17 Tahun 2017, maka Prabowo dan Ganjar akan saling berhadapan di putaran kedua untuk meraih suara mayoritas dan memastikan keterpilihannya sebagai calon presiden. Sementara Anies, habis.
Masalahnya kemudian peta yang bersifat statistikal ini tentu saja tidak dapat diandalkan untuk memastikan bahwa proporsi prosentase modal suara akan sebangun dengan perolehan suara hasil pemungutan tanggal 14 Pebruari 2024 nanti.
Faktor Dinamis untuk Anies
Sejumlah faktor dinamis akan sangat memengaruhi bahkan bisa menentukan secara determinatif keterpilihan pasangan calon tertentu. Dalam kerangka perspektif inilah Anies yang habis di putaran pertama tadi tetap saja memiliki peluang yang setara dengan Prabowo dan Ganjar berdasarkan kalkulasi-kalkulasi dinamis yang bakal menyertai perhelatan Pilpres 2024 nanti. Bahkan tidak mustahil justru Anieslah yang bakal memenangi kontestasi, setidaknya karena beberapa argumen berikut ini.
Pertama, Anies-KPP satu-satunya koalisi yang lahir dan hadir secara otonom dan mandiri, lepas dari kooptasi istana, lepas pula dari bayang-bayang pengaruh Jokowi sebagai Presiden. Fakta ini sedikit banyak memberi insentif elektoral pada koalisi KPP.
Kedua, sudah sejak menjabat sebagai Gubernur DKI, Anies dianggap sebagai antitesa Jokowi yang oleh sebagian publik dianggap lebih banyak gagalnya memenuhi janji-janji kampanye dulu. Belakangan sosok Anies bahkan makin solid dianggap sebagai simbol perlawanan sekaligus perubahan atas status quo.
Ketiga, dalam KPP ada dua tokoh besar yang level ketokohannya melampaui ketua-ketua partai di koalisi lain, yakni SBY dan Surya Paloh. Kedua tokoh ini jelas berada di atas hampir semua ketua umum partai (Airlangga, Zulhas, Mardiono, Cak Imin) kecuali Megawati dan Prabowo. Faktor kedua tokoh ini hemat saya akan memberi insentif elektoral yang tak kalah pentingnya bagi potensi keberhasilan Anies-KPP dalam menciptakan arena kontestasi berpihak pada dirinya.