Partai-partai "insecure" ? Thats right. Ini memang fakta yang tidak bisa dipungkiri. Mendekati masa pendaftaran Capres-Cawapres ke KPU Oktober-November nanti, partai-partai politik kita kian jelas positioning politik elektoralnya.
Mereka - dengan pengecualian sampai batas tertentu tiga partai yang tergabung dalam Koalisi Perubahan dan Persatuan/Perbaikan (KPP)- baik partai parlemen maupun nonparlemen praktis hanya menjadi bidak-bidak politik elektoral yang tidak berdaya, lumpuh layu, kehilangan kedaulatan sebagai instrumen utama demokrasi kemana suara rakyat bakal dimandatkan. Mari kita kupas, kita kuliti bersama.
Juni 2022 lalu, gong tahapan Pemilu 2024 ditabuh. Sempat sember suaranya lantaran sejumlah elit partai melakukan manuver-manuver aneh dan potensial inkonstitusional, menabrak konstitusi.
Tercatat ada Cak Imin, Airlangga dan Zulkifli Hasan, ketiganya ketua umum Partai Politik dan beberapa menteri antara lain Bahlil dan Luhut. Mereka mengusulkan, setidaknya mewacanakan agar pemilu ditunda. Seperti tak cukup lugas dengan gagasan konyolnya, mereka kemudian juga melengkapi gagasan tunda pemilu itu dengan wacana perpanjangan masa jebatan Presiden. Gubrak! Apa gerangan argumen mereka, tak penting lagi dibahas karena hanya menghabiskan energi sehat, dan faktanya Pemilu 2024 tancap gas.
Awal Oktober 2022, Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Bacapres yang kemudian disokong oleh Demokrat dan PKS, lalu ketiganya membentuk Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP).
Sebelumnya, sekitar pertengahan Agustus 2022, Gerindra lebih dulu mendeklarasikan Prabowo sebagai Bacapres, kemudian disusul dengan pembentukan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) bersama PKB.
Kedua peristiwa itu sempat membuat publik gembira hati dan menangkap isyarat bahwa Pemilu 2024 (terutama Pilpresnya) bakal berlangsung kompetitif, bermartabat dan lepas dari kooptasi kekuasaan status quo. Tapi ini tidak berlangsung lama.
Secara spekulatif publik melihat bahwa deklarasi pencapresan Anies oleh Nasdem (dan kemudian KPP) tidak disukai oleh Jokowi. Nasdem dan Surya Paloh diganggu. Pun Demokrat, melalui Muldoko yang bukan kader bukan elitnya, partai besutan SBY itu coba dibegal melalui pintu "legal".
Di waktu yang sama di ruang yang berbeda, Prabowo sebagai Bacapres KKIR amat rajin bermanuver memburu dukungan Jokowi, terutama setelah Ganjar dideklarasikan oleh PDIP sebagai Bacapresnya. Prabowo dan Gerindra praktis seperti kehilangan kemandirian, kehilangan kedaulatan. Di mana-mana di berbagai kesempatan Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra tak pernah lupa menyebut Jokowi dan memposisikannya sebagai "mentor dan teladan" dirinya.
Nyaris sebangun dengan KKIR, Koalisi PDIP-PPP hingga hari ini juga terkesan terus menunggu apa "maunya" Jokowi. Padahal tanpa sokongan partai manapun, PDIP bisa maju sendiri mengusung Capres-Cawapres.
Megawati yang dinilai merupakan ketua partai paling power full sekalipun seperti tak berdaya mengambil sikap berani memutuskan siapa bakal pendamping Ganjar.