Di lingkungan Muhammadiyah, ada ungkapan bahwa Muhammadiyah itu sangat demokratis, anggotanya bisa memilih jati diri sesuai jalan hidupnya. Sehingga seseorang bisa menjadi Muhammadiyah yang bijak, cerdas, dan intelek seperti Buya Syafi’i Maarif atau Din Syamsudin. Namun juga bisa juga menjadi seorang Muhammadiyah yang licik, oportunis, dan politis seperti Amien Rais.
Satir? Memang terkesan satir, tapu bukan pepesan kosong. Kita semua masih ingat bagaimana Amien Rais menabuh sirkus politiknya sejak era reformasi hingga sekarang. Di satu sisi, dia selalu menyebut mantra-mantra keislaman, demokrasi, dan berbagai nilai luhur lainnya. Di lain sisi, masyarakat Indonesia juga tak dapat dikibuli, kita dapat melihat rekam jejak atraksi-atraksi sirkus politik yang dia peragakan.
Bagi kalangan mahasiswa pro demokrasi di Yogyakarta, watak sengkuni alias provokator Amien Rais bukan asing bagi mereka. Silahkan tanya saja. Banyak aktivis sudah muak dengan perilaku Amien Rais sejak awal era reformasi. Kita semua tahu, reformasi tak serta-merta bergulir saja pada Mei 1998 itu. Pengunduran diri Suharto pada 21 Mei 1998, juga bukan terjadi karena kesadarannya sendiri.
Bertahun-tahun sebelum itu, aktivis dan mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia telah menggelorakan tuntutan pro demokrasi. Menjelang Pemilu 1997, aksi-aksi sporadis menuntut regenerasi kekuasaan di Indonesia sudah marak dilakukan mahasiswa. Aksi-aksi itu berlanjut seiring krisis moneter yang menerpa Asia Tenggara terhitung sejak Juli 1997. Tuntutan mahasiswa semakin menguat ketika Oktober 1997, pemerintah berniat meminta bantuan finansial IMF untuk mengatasi dampak krisis moneter di Indonesia.
Para aktivis pro demokrasi saat itu berpendapat bahwa solusi krisis bukan dengan mengajukan hutang ke lembaga internasional, tapi dengen menghentikan perilaku korupsi Suharto dan kroni-kroninya yang menggerogoti kekayaan negara. Dan yang penting pula, adalah menuntut pergantian kepemimpinan di negeri ini. Para aktivis itu sadar, efek tuntutan mereka tak akan kuat tanpa dukungan masyarakat luas. Karena itu, mereka berusaha menggalang dukungan dari berbagai tokoh masyarakat. Salah satu tokoh yang diharap dukungannya adalah Amien Rais, mengingat posisinya waktu itu sebagai ketua Muhammadiyah.
Apa tanggapan Amien Rais?
Dia menolak terlibat dalam aksi-aksi para mahasiswa. Dia bahkan tak mau sekedar datang memberikan orasi singkat untuk menguatkan moral dan semangat para aktivis yang tengah menyabung nyawa memperjuangkan idealismenya dan menuntut demokrasi. Bahkan dengan tanpa malu ia menyepelekan, jika yang hadir tak berjumlah ribuan, ia tak akan mau datang. Berdemonstrasi di Rezim Soeharto dengan jumlah ratusan saja sudah luar biasa. Sungguh watak seseorang yang oportunis dan mencari aman.
Tak perlu menjadi orang cerdas untuk menyimpulkan, bahwa Amin Rais menolak memberi dukungan lantaran gelombang reformasi saat itu memang belum kuat pada dua tahun sebelum 1998. Aksi-aksi menuntut reformasi baru dilakukan segelintir mahasiswa idealis yang secara sporadis menggelar aksi massa di kampus-kampus. Sampai di situ, para mahasiswa belum berpikir negatif terhadap Amien. Mereka baru sadar dan mulai mengumpat, ketika aksi-aksi menuntut reformasi sudah mulai menguat, dan demonstrasi sudah masif. Amien Rais pun ikut teriak-teriak bak pahlawan kesiangan. Ia menunggagi perjuangan aktivis yang berdarah-darah, yang mati dan diculik, yang dikejar-kejar polisi dan tentara dengan senapan dan samurai. Ia merasa bangga menepuk dada sebagai orang yang mendukung demonstrasi. Amien Rais sama sekali tak malu hati, mengakui semua atas sokongan dan dukungannya.
Saat itu para aktivis mulai sadar, tampaknya Amin ini seorang pemain sirkus politik yang memanfaatkan posisi Ketua Umum Muhammadiyah, dan menumpangi momentum perubahan yang tengah terjadi. Dan anggapan para aktivis tak salah. Pasca kejatuhan Suharto, Amin mulai berkoar-koar menyebut dirinya sebagai pahlawan reformasi. Padahal, saat demonstrasi massal terjadi di seluruh Indonesia pada 20 Mei 1998, dia justru menghimbau warga untuk membatalkan rencana aksi itu.
Sungguh, Amien Rais si pengecut, pemain sirkus yang berakrobat, berteriak-teriak lantang, lalu buru-buru bersembunyi di balik bangku. Permainan sirkus yang dia andalkan tak jauh-jauh dari atraksi teriak lantang, lalu sembunyi di balik bangku. Tapi bukan hanya itu, dia juga punya kepiawaian lain; main telikung, menjegal orang, dan aksi koboi. Kita bisa amati atraksi-atraksi sirkus Amin Rais pasca kejatuhan Suharto.
Seminggu sebelum Suharto jatuh, 14 Mei 1998 para tokoh nasional berkumpul membentuk Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang di dalamnya juga ada Amin Rais. MARA adalah wadah terbuka dengan tujuan evaluasi terhadap pemerintahan Orde Baru, sambil mengawal transisi menuju perubahan Indonesia yang demokratis, dengan tokoh-tokoh lintas agama, lintas suku, dan lintas rasial. Tujuan mereka, yaitu melakukan. Satu hal perlu digaris bawahi, bahwa para tokoh nasional di MARA tidak pernah atau belum sempat berpikir tentang pembentukan partai politik. Dalam perjalannya, pada 23 Agustus 1998, Amien Rais menyulap MARA menjadi Partai Amanat Nasional dengan mengesampingkan belasan tokoh yang belum mencapai kata sepakat.
Dalam perkembangannya pun, tokoh-tokoh yang tergabung di MARA perlahan-lahan disingkirkan, yang tak datang dari Muhammadiya dicampakkan, apalagi yang berbeda agama. Sehingga pun suara PAN dari Pemilu 1999 tak cukup menggembirakan, hanya menduduki peringkat kelima (7,12% suara). Tentu saja, perolehan itu sangat kurang untuk mewujudkan ambisi Amien untuk menjadi Presiden.
Jawara perolehan suara waktu itu ditempati PDIP dengan 33,74% suara, sementara posisi kedua adalah Golkar dengan 22,44% suara. Merasa tak mampu bersaing, akhirnya Amien dengan otak provokatornya merapat ke Megawati, memberi sinyal untuk mendukungnya sebagai presiden RI. Seorang Sengkuni yang berharap bisa mendapat kursi strategis, jika ikut mendukung presiden terpilih. Tapi, tampaknya Mega waktu itu tak terlalu tertarik dengan lobi-lobi Amin Rais.
Seperti wataknya yang oportunis dan ‘tak terima ditolak’, maka kelanjutannya bisa ditebak. Amin mulai menggalang kekuatan partai-partai untuk menjegal Mega sebagai presiden. Sadar bahwa dirinya tak cukup kuat menjadi magnet koalisi, dia mendorong Gus Dur selaku pendiri PKB yang saat itu menduduki peringkat tiga dengan 12,61% suara. Sungguh disayangkan, guru bangsa kita ini terjerat perangkap Amin Rais. Dengan dukungan koalisi poros tengah yang digalang Amin, Gus Dur menjadi presiden RI.
Apakah Amien benar-benar mendukung? Ternyata tidak, sedari awal dia sudah ancang-ancang untuk menjatuhkan Gus Dur di tengah jalan. Dan itu berhasil dia jalankan dengan baik.
Belum genap setahun, Amien sudah membuat keonaran politik. Salah satunya dalam kasus konflik Ambon, banyak pihak sepakat bahwa Amien adalah salah satu tokoh yang terlibat aktif mendukung mobilisasi laskar jihad untuk berperang di Ambon. Tentu saja, langkah fasis itu sangat bertentangan dengan pendirian Gus Dur yang pluralis dan mengutamakan jalan damai. Toh bagaimana pun, pada akhirnya Gus Dur berhasil ia dilengserkan dari kursi kepresidenan. Sesuai memang dengan skenario awal Amien Rais, mendukung Gus Dur dengan poros tengah, kemudian berbalik menjadi pihak yang sangat aktif melengserkannya.
Dengan manuver-manuvernya itu, dia berharap namanya akan tersohor sebagai king maker sekaligus tokoh politik terkemuda. Modusnya, tentu saja harapan menjadi presiden tahun 2004. Dalam berbagai kesempatan, dia menyatakan bahwa dia akan terpilih menjadi presiden lantaran dirinya orang Jawa. Sekali lagi, terlihat bertapa chauvinis dan fasisnya profesor yang satu ini, seorang yang mengaku-ngaku tokoh demokrasi.
Di era reformasi pun dia selalu menonjolkan sentimen golongan primordial. Dan tentu saja, rakyat tak bodoh, dalam Pemilu 2004, Amien tetap gagal meraih impian menjadi presiden. Dia hanya mendapat 14,66% suara dan menempati peringkat 4 di antara 5 pasangan capres yang ada. Itu adalah vonis nyata bagi Amien Rais, bahwa rakyat Indonesia tidak percaya kapasitasnya untuk memimpin.
Toh tampaknya Amien Rais masih merasa nanggung tak mencapai klimaks. Di usianya yang sudah senja, dia masih tak jera memainkan sirkus politik. Paling aktual, beberapa tahun lalu dalam Pilkada DKI Jakarta, Amien berkoar-koar mendukung Fauzi Bowo sebagai kompetitor Jokowi. Dia sangat yakin Foke akan mengalahkan Jokowi. Toh, akhirnya Fauzi Bowo gagal melanjutkan masa kepemimpinannya di ibukota. Dan Amien Rais tak terima, hingga berkoar-koar mengatakan Jokowi berbahaya bagi demokrasi.
Ah ya, tampaknya Amien adalah orang yang konsisten dengan ketidakkonsistenannya. Belum hilang ingatan dia tentang caci-makinya terhadap Jokowi, paska Pileg 2014 ini dia justru menyodor-nyodorkan Hatta Rajasa sebagai Cawapres Jokowi. Sayang sungguh sayang, ia harus kembali gigit jari lantaran Jokowi menolak koalisi yang berdasar tawar-menawar jabatan.
Dulu ditolak Megawati, sekarang ditolak Jokowi. Dan otak Sengkuni Amien Rais pun berpikir keras untuk memberikan balasan. Dan sudah dapat diduga, Amien kembali menjelek-jelakkan Jokowi. Kali ini, dia berlindung di balik gamis umat Islam. Ia menyebutkan seolah-olah perkatannya adalah fatwa, agar umat Islam harus mendukung Prabowo. Dia juga mengklaim, 85% warga Muhammadiyah mendukung Prabowo. Entah, survei atau metode hitung kancing yang digunakan Amien Rais ini.
Tak cukup dengan klaim-klaim itu, Amien Rais bahkan melakukan politisasi terhadap sidang Tanwir Muhammadiyah di Samarinda, Sabtu (24/05/2014) lalu. Di acara yang memang dipersiapkan bukan untuk ajang dukung-mendukung serta bernuansa netral, Amin Rais tanpa malu meneriakkan yel-yel dukungan terhadap Prabowo. Memang lupa kiranya, dulu kepalanya pernah hendak ditodong senjata oleh pasukan jagoannya itu.
Hingga Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah merasa seperti malu dan gerah dengan akrobat politik Amien Rais itu. Menurutnya, kalau pun Amien mendukung Prabowo, selayaknya memiliki sedikit respek dan etika, dengan tak membawa-bawa nama Muhammadiyah. Dan tentu, sangat tak pantas menumpangi acara Muhammadiyah. Said Aqil Siraj tak salah kiranya, 14 tahun lalu pernah menyatakan Amien Rais sebagai sosok tak berpendirian, pernyataannya bolak-balik ibarat pagi tempe, siang toge, sore kedelai.
Amboi, Bapak Profesor Amien Rais, apa yang kau rencanakan dengan dukungan kepada Prabowo? Dulu berteriak-teriak ngotot menyeret Prabowo untuk bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM yang menjeratnya. Kalau saat ini dia mendukung Prabowo, apa sebenarnya motifnya?
Ah ya, sangat mungkin sejarah berulang, Amien pun sudah menyusun ancang-ancang jika saja nanti Prabowo berhasil memenangkan Pilpres, dia sudah menyiapkan jurus untuk menjegalnya. Tentu saja, dengan jatuhnya Prabowo, maka berarti Hatta Rajasa yang berasal dari partainya akan mengambil posisi presiden dari Prabowo. Dan Hatta Rajasa tak lebih dari sekedar bonekanya. Amien Rais begitu merasa, kuasa presiden hampir-hampir diraihnya.
Tapi, pesan untuk Bapak Profesor Amien Rais, daripada kembali siap-siap gigit jari, lebih baik belajar menjadi muslim yang baik, menjauhi sifat munafik, dan lekas bertaubat di usia yang semakin senja, selagi Tuhan masih memberi kesempatan. Amin....
http://www.oocities.org/maluku67/siwalima2012y2k2.htm
http://www.tubasmedia.com/berita/amien-rais-foke-nara-kalah-karena-jokowi-ahok-bayar-pers/
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/05/26/269580376/Dukung-Prabowo-Amien-Ganggu-Acara-Muhammadiyah
http://www.minihub.org/siarlist/msg04751.html
@sindikatjogja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H