Lihat ke Halaman Asli

“Jangan Panggil Aku Oon”

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Jangan Panggil aku oon”. Kalimat yang dilemparkan jen sebulan lalu. Pada seorang lelaki yang dikenalnya, hampir setahun itu. Hubungan mereka lebih dari sebatas senior-junior. Tapi mereka tak mau dianggap pula, ‘pacaran’. Karena si lelaki itu, tak punya kata pacaran dalam kamus hidupnya.

Awalnya keduanya bertemu dalam sebuah training yang diadakan sebuah Organisasi Mahasiswa. Disitulah mulai terangkai kisah. Yang berunjung panjang dan berliku.

Jen seorang gadis cantik, berkulit putih bening dan bertubuh tinggi atletis. Dia berdarah Bugis-Tionghoa. Serta gadis lulusan pesantren yang cukup terkenal. Sehingga dia menjadi perhatian pria itu.

Setelah mengenali jen lulusan pesantren, pria yang punya kebiasaan aneh itu. Sering menelpon Jen, dan menanyakan banyak hal padanya. ‘Bertanya…!’ itu gumam jen. Saat ditanya hobi pria yang menelponnya itu.

Siang itu saat terik matahari memanaskan seng-seng, dan aspal jalanan. Jen kedatangan tamu. Jennn…..! Nandonk sahabat jen, spontan memanggil. Keluarlah jen, lalu tanpa disadarinya  pipinya memerah-merayu,  dan kedua putih matanya menggambar bayangan tinggi.

“Kak tau dari mana alamat saya…!”. Tentu taulah, yang jelasnya bukan dari google. He..he..he..!, dia tutup dengan senyum kecil menggodanya. “Saya haus nih, mau numpang. Kalo diterima... Iya Kak silahkan duduk”. Jen pun masuk ke kamarnya. Sambil berpikir dan terdiam, dia merogoh isi lemarinya.

Sejak saat itu jen sering ditelpon pria itu, yang merupakan kakak seniornya di Kampus. Yang isinya hanya sekedar say halo atau usil-usilan belaka. Kalaupun tidak, pesan singkatlah yang dikirim olehnya, sehingga keseharian jen tak terlewati tanpa memikirkan pria itu. Hingga keakrabanpun terjalin dengan berlalunya waktu.

Suatu waktu, pria itu datang lagi dengan ransel besar dan berat. Hampir sepuluh buku disusun depan mata Jen. ‘Bisnis Buku Kak ?’ suara tanpa gambar melintas menggoda mereka. Milik Nandonk. Yang sedang asik menonton sinetron.

‘Hahaha…. mau beli dek ?’, balas pria itu dengan hangat. ‘Jen harus baca semuanya’ tuturnya dengan tegas. Jantung jen tadinya seirama arloji ditangannya, kini mendayu lebih cepat. Perasaanya pun kembang-kempis. ‘Maksudnya Kak’ balas perempuan itu.

Tentulah jen kaget, karena disuruh membaca buku sebanyak itu. Baru kali ini dia mendapati pria menyuruhnya membaca buku. Biasanya dia diajak mengibur diri di pantai, jalan-jalan di mall, makan ataukah nonton bioskop.

Di Kamar jen yang rapi itu, kini telah diramaikan oleh 2 buah buku kumpulan cerpen. Robohnya surau kami dan sebuah karangan Sutan Takdir Alisjahbana. Diapun kini punya tugas khusus dari tamu siang tadi. Yakni menulis cerpen yang mesti selesai dua minggu mendatang.

Hari berlalu dengan dihadapkan kuliah padat dan tugas menumpuk, jen seakan lesu mengahadapi  rutinitas barunya itu. Hingga sebuah sore dia bertamu seniornya dalam kampus. Jen dapat marah, karena belum menulis sepatah kata pun. Hatinya begitu terluka, menjadikan hari-harinya menjadi tak biasa dan kelam.

Sejak itu , hari-hari setelahnya kurang bersemangat, makan dan saat kuliah rata. Wajahnya tetap datar. Gadis bugis-tianghoa itupun tak lagi menjawab teleponnya. Pesan pun dia abaikan bak tak mau tau. Nandonk sering menghiburnya, tapi langkahnya terhenti tak berani dia mencampuri lebih jauh kesedihan jen.

Seminggu setelah itu. Pria itu datang kembali, setelah membujuk jen agar menerimanya di kosann-nya, sebagai tamu. Tapi kini mereka hanya saling ngobrol depan kios samping, jejeran rumah  kos-kosaan itu.

Sambil menghisap tembakau bertulis mild, pria yang tinggi hampir dua meter itu. Segera menggunakan jurus merayunya yang tak lain digunakan saat seperti ini. Lalu. Jen yang sebelumnya putus asa, tuk mulai menulis ditambah lagi hatinya terluka oleh pria didepanya. Mulai luluh dan wajahnya nampak bersemangat. Anggukan berkali-kali dagu terbelah itu membuat sang Senior Nampak tersipu -lumbai, tanpa sadar.

Tengkyu kak” ujar jen, lewat suara manja dan senyum kecil. Sambil memukul-mukul pahanya. Sesaat si pria itu, membelai motor buntutnya dan segera hilang di telan jarak.

Alhasil….dua hari kemudian...

Naskah tidak lebih lima lembar Hvs itu, segera di ambilnya. Lalu segera pulang kerumah, dibacanya dengan seksama, disuntingnya, dan dicetaknya dengan bersemangat, seorang diri. Esoknya berbundel-bundel buletin hasil cetak semalam ditenteng mahasiswa semester sepuluh itu.  Diberilah jen, tiga buah.

Tiba-tiba sambaran cubitan lepas melayang tanpa terpikir. Tepat di lengan kiri ujung kaos oblong lusuh itu. Reflek….!  hempasan badan menolak badan jen yang hampi-hampir jatuh ke kiri. Kalo-kalo saja sang pria itu tak menahan lengan kiri putih jen.

‘Jen Minta Maaf Kak’. Memelas dengan wajah merah jambunya. Selang Sepuluh detik, tubuh di depan jen diam tak bergeming. Keheranan. ‘Kenapa jen nyubit…?’. ‘Kenapa fotoku dipasang disini kak’. Memang kenapa?. Fotonya cantik kok, lebih dari aslinya malah”. Sambil tertawa kecil menggoda. ‘Jen malu kak’. Ohhhh….!’.  Pertemuan itu pun ditutup dengan tawa keakraban, tak lupa pria itu memberi ibu jempol tanda pujian tuk jen.

“Jangan panggil aku oon”. Geming suara melambung ke berbagai arah….!!

Sendak tegukan kopi, berhenti ditenggorokan pria itu. Keramaian tempat itu pun tertuju ke meja mereka. Bahkan Naning Pranoto yang barada dipanggung pun menoleh. Saat acara launcing Novel terbarunya ’Wajah Sebuah Vagina’. Jen segera tertunduk dan pria itu menyebar senyum kesegala arah tanda meminta maaf.

Selesai Launcing novel tersebut. Tangan jen segera diambil dan digandeng kearah panggung. Dikenalkannyalah jen dengan Mbak Nani Pranoto. Sepertinya Pria itu cukup akrab dengan penulis terkenal itu. Rasa bangga jen menyeruak dalam dirinya, selain bertemu dengan Mbak Naning, juga bersama pria yang sempat dipuji oleh banyak tamu-tamu waktu itu, yang kebanyakan adalah penulis dan sastrawan.

Sejak masa itu…..!!!!

Beberapa kali mereka berjalan dan menjalani hari-hari bersama. Bak dikata, guru-murid, tapi seperti pula sepasang kekasih. Keduanya pun lewat sastra dan tulisan, saling berpaham-paham diri, jen tak suka disebut oon. Itu yang paling dicamkan pria itu, yang sering memanggil orang seperti itu.

Mereka pun mengaggap  ini semua bagai alur plot cerpen. Yang dijalani bersama. Hingga pria itu menulis cerpen berjudul ‘jangan panggil aku oon’. Diakhir malamnya sebagai pria, dan menjadi suami seorang jen. (02/06/12)*




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline