Perjalanan malam ke Ranu Pane menyisakan sejuta penasaran. Alam pengunungan Bromo yang indah jadi terlewatkan. Hanya berteman gulita sepanjang jalan. Maka, siang itu setelah Menjaring Pagi di Ranu Pane dan Menapak Jejak di Ranu Regulo, saya pun meluncur pulang. Kembali menyusuri jalan aspal yang rusak tergerus air. Kalau malam terhampar gulita, kini terlihat nyata: pemandangan alam begitu menawan.
Terpencil
Di kanan kiri jalan Desa Ranu Pane, Senduro, Lumajang, terhampar kebun sayur. Ada kebun yang baru selesai diolah. Nampak pula yang mulai menghijau pertanda sudah tumbuh bibit yang sudah ditanama. Terlihat juga sekelompok petani sedang menanam benih. Mungkin juga sedang menyiangi rumput atau memupuk, lantaran di beberapa titik tampak onggokan karung putih yang sepertinya pupuk kandang. Pagi itu, desa sunyi di kaki Semeru ini mulai mengeliat.
Ranu Pane begitu terpencil. Jauh dari pusat kota. Baik dari Malang maupun Lumajang. Jalur penghubung satu-satunya ke dunia luar lebarnya tak lebih dari 3 meter. Makin terlihat sempit karena rumput dan semak menyeruak ke jalan. Tapi lumayan, sudah beraspal. Hanya, jalan di tengah desa yang rusak parah. Saat melintas tentu harus ekstra hati-hati. Kanan kiri jurang menganga yang tersembunyi di balik semak-semak. Jalannya meliuk, naik turun khas pengunungan. Saat berpapasan dengan kendaraan adalah saat yang mengasyikkan plus mendebarkan.. he he he... Tepo seliro, tenggang rasa diutamakan. Kita yang mundur atau mereka yang mundur. Cari tempat agak lebar untuk menepi agar bisa bersimpangan. Walaupun jalannya sempit, selain Jeep 4x4 yang bodynya gede, banyak pula Truk Engkel yang melintasinya.