Lihat ke Halaman Asli

Teguh Hariawan

TERVERIFIKASI

Traveller, Blusuker, Content Writer

Kisah Heroik Gugurnya Sunaryo dalam Pertempuran Madulegi Tahun 1949

Diperbarui: 16 Juni 2022   04:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapten J bakker bertemu pimpinan TNI setelah ceasefire (Foto Radik Djarwadi)

Saat pertempuran di daerah Madulegi, (sekarang masuk Kecamatan Pandaan),  Kapten Hartono selaku komandan TKR gugur. Letnan Ichdar sebagai pucuk pemimpin berikutnya juga terluka. Akhirnya pasukan meminta Sunaryo menggantikan sebagai pucuk pimpinan. Dengan keberaniannya Sunaryo muda memimpin untuk menerobos blokade tentara Belanda. Akhirnya pasukan berhasil keluar dari sergapan tentara musuh

Sunaryo adalah seorang pemuda berusia 18 tahun asal Pandaan.  Memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang sangat tinggi. Dirinya tergerak dan jiwanya berontak saat melihat tentara Belanda hadir di wilayahnya pasca proklamasi dikumandangkan. Soenaryo dan anak muda lain seusianya sangat geram dengan kehadiran Belanda hadir kembali untuk menancapkan kembali kekuasaan di wilayah yang sudah merdeka.

Tidak menunggu lama, Sunaryo pun langsung bergabung dengan tentara-tentara muda jebolan Heiho, PETA serta  gabungan laskar-laskar rakyat. Mereka pun membentuk basis pertahanan di wilayah Gempol-Pandaan-Prigen-Tretes, sesuai instruksi komandan batalyon pertahanan wilayah Jawa Timur.

Maka, di tahun 1948-1949, Sunaryo dan para tentara muda mulai melakukan gerilya. Mulai dari menyerang pos-pos pertahanan tentara Belanda di wilayah Tretes yang sebelumnya sudah mendirikan banyak villa/loji serta hotel-hotel. Terkadang, pasukan TNI ini juga menyergap rombongan tentara Belanda dari Pandaan yang akan menuju ke basis pertahanan mereka di Prigen-Tretes.

Agresi Militer Belanda 1948

Subuh buta, 19 Desember 1948, pasukan Kerajaan Belanda, melakukan serangan ke Ibukota Republik di Yogyakarta. Diawali dengan mengadakan pemboman di Lapangan Terbang Maguwo, lalu merangsek menyerbu ke pusat kota. Tujuannya jelas, menawan para pemimpin republik serta melucuti kekuatan-kekuatan militer yang baru terbentuk.

Ini adalah Agresi Militer Belanda II, setelah  pihak Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda mengadakan perundingan. Seperti biasanya, setelah perundingan, pihak Kerajaan Belanda langsung mengingkari dan mengkhianati persetujuan dengan melakukan serangan ke daerah-daerah yang dikuasai republik. Agresi Militer Belanda I, juga dilakukan setelah pihak republik dan Kerajaan Belanda melakukan perjanjian Linggarjati yang kemudian secara licik diingkari dan dilanggarnya sendiri.

Siasat pihak Belanda ini sebenarnya sudah terbaca oleh para tentara pejuang yang sudah bertempur mempertahankan kemerdekaan sejak meletusnya peristiwa 10 November 1945, di Surabaya.

Maka, begitu ada permintaan gencatan senjata dan upaya damai dari pihak Belanda, yang notabene adalah siiasat dan strategi pihak Belanda untuk konsolidasi dan memperkuat tentaranya, maka pasukan-pasukan pejuang yang tersebar di seluruh penjuru negeri, terutama di kantong-kantomg pertahanan wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pun tak tinggal diam. Mereka pun mulai menyiapkan diri.

Di  Jawa Timur, saat Agresi Militer kedua, pasukan besar pihak Belanda langsung menerobos front Pujon, Kepanjeng Malang, Lamongan serta mendaratkan pasukannya di pantai Tambakboyo, Tuban. Tujuannya menyerang pasukan-pasukan TNI dan menduduki daerahnya. Maka tak pelak lagi, terjadilah pertempuran-pertemburan hebat di beberapa front antara pasukan TNI  melawan pihak pendudukan Belanda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline