Gundukan puncak bukit kecil muncul di permukaan air yang berwarna hijau Toska. Membentuk layaknya gugusan pulau-pulau kecil di sebuah pantai namun tanpa nyiur melambai. Hanya ada padang gersang di sekelilingnya. Ditemani kayu dan ranting kering yang kehausan. Tapi menyajikan lukisan bentang alam yang indah. Konon, pemandangan ini mirip Raja Ampat di belahan Timur sana.
Siang itu, saya dan rombongan kecil, melaju meninggalkan Watu Dodol Banyuwangi, menuju Pasuruan. Menyusuri jalan nasional Pantura yang merupakan jalur utama urat nadi transportasi Jawa-Bali. Kendaraan bisa melaju kencang karena hampir tak ada hambatan. Bus-bus Pariwisata Jawa-Bali sepertinya sudah meninggalkan area ini. Hanya ada beberapa truk besar yang sabar menderu-deru meniti jalan. Sehingga, tak sampai 30 menit kami sudah meninggalkan Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi dan memasuki kawasan Hutan Baluran.
Deretan pohon Jati kokoh berdiri memagari kanan kiri jalan yang beraspal mulus. Karena musim kemarau, beberapa meranggas menggugurkan daunnya. Akhirnya, kami tiba di perbatasan hutan dan perkampungan. Ada yang menarik perhatian saya. Refleks, lampu Sein kiri saya nyalakan. Kemudi perlahan saya putar ke kiri. Kendaraan pun menepi.
Semua penumpang tak ada yang berkomentar mengapa mobil berhenti, karena mereka sudah paham dengan sifat sopir blusukan ini. Saya cek sebentar di maps. Posisi kami masih di area Hutan Baluran. Tapi bukan di Banyuwangi, namun sudah masuk Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo.
Terbaca di sana, saya berada di Waduk Bajulmati. Nah, karena terletak di perbatasan dua kabupaten, saya temukan dua ikon menarik di halaman depan Waduk Bajulmati ini. Yakni, patung seorang Penari Gandrung yang mencirikan Banyuwangi, berdampingan dengan Penari Landung yang mencirikan Situbondo.
Mengikuti intuisi, saya susuri jalan beraspal memasuki kompleks waduk. Ada petugas yang menghentikan kendaraan dan menarik tiket masuk. Kalau tidak salah ingat, ditarik 5 ribu rupiah per orang. Setelahnya, kami dizinkan melaju tanpa diberi informasi apapun. Nggak, masalah. Wong tujuannya juga hanya mau lihat-lihat.
Setelah menyeberangi bendungan yang di atasnya dibangun jembatan selebar ukuran mobil, kami sampai di seberang. Saya parkir di sebuah sudut sempit di ujung jembatan. Begitu keluar kendaraan, kami disergap udara panas. Maklum, musim kemarau dan tempatnya gersang dengan pohon yang jarang-jarang. Maka sesi jeprat-jepret di sekitaran waduk pun dipercepat.
Waduk untuk Dua Kabupaten