Lihat ke Halaman Asli

Teguh Hariawan

TERVERIFIKASI

Traveller, Blusuker, Content Writer

Perang Bubat, Cerita Rakyat yang Tumbuhkan Dendam Kesumat

Diperbarui: 10 Januari 2021   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Iring-iringan (kuwaluhan.com)

Sebelum 2018, tak ada jalan bernama Majapahit atau Gajah Mada di kota-kota Jawa Barat. Demikian pula di  Jatim, Jateng dan Yogyakarta, tak pernah ditemui jalan yang bernama Siliwangi atau nama-nama tokoh dari Kerajaan Sunda di masa lalu. Itu fakta serta dampak dari cerita rakyat yang diwariskan lintas generasi dari mulut-ke mulut tentang  Perang Bubat. Kisah dan narasi  yang terbangun  telah menimbulkan luka batin, melahirkan rasa  antipati dan dendam kesumat. Begitulah, tak semua cerita rakyat mampu memberi pesan moral positif bagi masyarakat "pembacanya".

Cerita Peristiwa  Bubat

Perang Bubat, tepatnya Peristiwa Bubat. Kejadian yang melibatkan Hayam Wuruk dan Gajah Mada di satu sisi. Serta  raja Sunda, Prabu Linggabuana dan putri kesayangannya, Dyah Pitaloka Citraresmi,  di pihak lain. 

Bermula dari ketertarikan Prabu Hayam Wuruk muda pada kecantikan Dyah Pitaloka Citraresmi.  Kadung kesengsem, Sri Maharaja Rajasanagara, gelar resmi Hayam Wuruk, meminta Gajah Mada untuk melamar serta menjadikan Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai permaisurinya. Maka, sebagai orang dekat dan orang kepercayaan Hayam Wuruk, Gajah Mada pun segera melaksanakan titah Sri Baginda.

Singkat cerita, Kerajaan Sunda setuju atas lamaran Hayam Wuruk melalui Gajah Mada. Maka pada saat yang ditentukan, datanglah rombongan Raja Sunda beserta putrinya, Dyah Pitaloka Citraresmi ke Majapahit. Rombongan sebelum masuk istana, oleh para punggawa Majapahit dipersilahkan untuk mendirikan peristirahatan sementara di Bubat. Sebuah tanah lapang di dekat ibukota Majapahit. 

Kedatangan Prabu Linggabuana beserta Dyah Pitaloka Citraresmi demikian membahagiakan Prabu Hayam Wuruk. Namun tidak demikian dengan Mahapatih Gajah Mada. Awalnya, Gajah Mada sebenarnya sangat sepakat jika Hayam Wuruk mempersunting Dyah Pitaloka sebagai permaisuri. Secara politis itu akan sangat menguntungkan lantaran bisa mempersatukan dua kerajaan besar di tanah Jawa. 

Namun, begitu rombongan kemanten perempuan datang, Gajah Mada dan pejabat Majapahit lainnya mengubah skenario. Entah itu atas inisiatif pribadi Gajah Mada, atau ada desakan pihak lain. Rencana prosesi penerimaan Dyah Pitaloka oleh Hayam Wuruk dirubah total. 

Intinya, Gajah Mada dan pejabat Majapahit di bawahnya menghendaki, Dyah Pitaloka yang sudah jauh-jauh datang dari tanah Sunda harus diserahkan sebagai tanda persembahan kepada Raja Majapahit. 

Sontak, Prabu Linggabuana menolak mentah-mentah pemintaan Gajah Mada tersebut. Ini adalah penghinaan menurut sang prabu. Dia datang dari Kerajaan Sunda karena mengantarkan putrinya untuk dipersunting secara terhormat oleh raja Majapahit. Bukan diserahkan sebagai sesembahan. Karena tidak mencapai titik temu, dan masing-masing mempertahankan kehormatannya, maka tak dapat dielakkan, terjadilah pertumpahan darah di Lapangan Bubat. 

Dalam pertumpahan darah itu, Raja Sunda dan rombongannya yang memang tidak bersiap untuk perang, gugur mengenaskan  secara keseluruhan. Dyah Pitaloka Citraresmi pun menyusul bunuh diri setelah meratapi ayahnya yang telah gugur. Melihat itu semua,  Gajah Mada pun menyesal. Terlebih saat tahu Raja Hayam Wuruk murka mendengar peristiwa pertumpahan darah itu dan tak lagi menghiraukannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline